Sunday 19 October 2014

Integrasi Sistem Keuangan dan Sistem Operasi

Beberapa waktu lalu kita mendengar gonjang-ganjing soal terlambatnya pencairan beasiswa Dikti untuk mahasiswa yang sedang kuliah di luar negeri. Anda bisa bayangkan bagaimana pusingnya para mahasiswa itu. Namun, ketika melihat pernik-pernik yang ada -- baik karena pencairan dana beasiswa yang terlambat, jalan rusak di mana-mana, orang miskin tidak diurusi, dan seterusnya—saya cenderung berhati-hati ketika menyimpulkan.

Kasus keterlambatan pencairan beasiswa Dikti ini adalah contoh nyata di mana banyak masyarakat terdidik sebagai customer negara merasakan langsung masalah sistem keuangan kita. Hanya saja, kita saat ini cenderung melihatnya dari sisi luar, memberikan tekanan ke pejabat publik melalui media dan sebagainya, baik dengan petisi online, atau apapun namanya (etic perspective). Ketika pemimpin tidak merakyat, saya rasa pendekatan itu memang pas. Namun, ketika kita sudah mempunyai pemimpin yang katanya merakyat, Jokowi, mestinya pendekatan itu diubah, dengan melihat secara kritis kondisi yang ada, dan masuk ke dalam sistem untuk memperbaikinya (emic perspective).

Masalahnya, saya lihat saat ini masih ada dikotomi antara sistem keuangan dan sistem operasi di negara kita. Para pakar dan praktisi pada kedua bidang ini pun sering mempunyai agenda masing-masing. Sebagai contoh, alumni ITB kebanyakan berkutat di sistem operasi (walau sekarang sudah memiliki school of business) yang akhirnya, ketika menjadi pejabat BPH Migas atau Menteri ESDM, tidak mengerti sistem akuntabilitas keuangan atau memang tidak mau tahu. Karenanya, wajar saja jika dalam satu dekade belakangan ini banyak orang operasi, utamanya para engineer, berurusan dengan KPK atau penegak hukum lainnya.

Karena itu, sudah saatnya dibangun dialog yang intens antara akademisi dan praktisi di kedua sistem ini. Anda yang di bidang operasi -- juga para dosen kampus negeri atau swasta-- harus memahami substansi sistem keuangan negara, di mana ia menjadi darahnya operasi, dan tidak sekedar mengeluh. Contohnya, adalah ketika kita berbicara enerji listrik, pada akhirnya kita akan berbicara sistem costing, berapa tarif listrik yang wajar. Begitu juga ketika kita menentukan berapa budget yang wajar untuk pembiayaan pendidikan (yang saat ini lagi-lagi sebenarnya masih dengan line budgeting).

Sebenarnya, banyak akademisi keuangan yang tertarik berbicara atau dialog terkait kedua bidang ini. Sayangnya, karena keterbatasan pengetahuan di orang keuangan, di mana mereka dulunya ditanamkan keuangan adalah bidangnya orang sosial (IPS), sehingga tidak perlu pintar amat -- yang salah kaprah -- terdapat keterbatasan keilmuan di antar mereka. Kita memerlukan lompatan besar di mana para akademisi keuangan dapat memahami sistem operasi. Karena itu, cara paling mudah adalah dengan adanya saling sharing di antara kedua pihak ini ke depannya.

Jika diteliti lagi, sebenarnya pun pada praktiknya mereka yang mengelola sistem keuangan saat ini di masing-masing instansi pemerintah masih memiliki masalah. Mereka bukan orang yang kompeten. Mereka biasanya dulu adalah orang-orang yang menganggur, tidak bisa dikembangkan lagi, atau susah diatur pimpinan. Anehnya, mereka diberikan tugas mengurusi keuangan ini agar mereka memiliki kerjaan rutin dan betah masuk kantor. Kesannya, mengurusi keuangan adalah cukup ditunjuk orang yang tidak kompeten. Ini perlu segera kita tangani jika masalah yang kita hadapi, seperti kasus keterlambatan bea siswa Dikti, tidak ingin berulang.

No comments:

Post a Comment