Wednesday 31 August 2016

"New Zealand burglary rate increases 12 percent"

Tinggi juga, kenaikan tingkat crimenya di NZ. Hati-hati bagi yang liburan. Barang penting dititipkan saja ke teman. Tempo hari ada kawan (sudah lama jadi residen di sini) sedang cuti di Indonesia, dapat khabar rumahnya dibobol. Ya tidak bisa apa-apa.
Lihat grafik ini memang merepresentasikan bedanya ketika datang pertama kali di NZ dan ketika belakangan sering membaca berita dan dengar cerita langsung rumah orang diobrak-abrik isinya. So sad.


Source:
http://www.newshub.co.nz/nznews/new-zealand-burglary-rate-increases-12-percent-2016083111?ref=newshubFB

Thursday 28 July 2016

AB for President!

Kawan,
Bagaimana kalau biarkan saja pemerintahan saat ini berjalan?
Lupakan soal reshuffle
Saatnya, siap 2019, agar dapat presiden yang berkualitas
galang dukungan "AB for President!"
di tataran bawah sudah lama sebenarnya melihat AB is the next president
Katakanlah saat ini dapat presiden yang kecelakaan
Sekedar menjegal kembalinya sistem lama
Sudah saatnya disiapkan dari sekarang
Jangan lagi terjadi kecelakaan sejarah
Ya presiden butalah
Ya presiden EGP ora gue pikirin, lah
Soal AB udah banyak yang melihatnya dan memperbincangkan
he should be the next president
banyak yang silent selama ini
tampaknya memang bocor duluan
Masih kagak bisa nebak AB?
Kurang gaul, nich
Cuma bisa main Pokemon doang, ya?
Itu udah lama yang tahu. Beberapa kalangan tertutup
leadershipnya super
Yang jelas bukan Aburizal Bakrie!
Atau kebanyakan ente selama ini dagang doang atau cuma jadi buruh birokrat? Ngomel-ngomel kalau udah dapat presiden yang hasil kecelakaan sejarah. Udah kerasa kan tersiksanya
Ada artikel baru kenapa family politics tidak menjadi dynasty politics di beberapa daerah.
Ternyata salah satunya karena perannya para birokrat di daerah melakukan koreksi
Itu studi di Kalimantan tengah
dari sekitar 9, hanya 2 yang berhasil menjadi dinasti politik
juga peran para profesional yang concern
itu ternyata juga didukung di studi internasional
jadi kalau Indonesia tidak ingin menuju keruntuhan, siapin presiden yang bermutu dari sekarang
dan kita semua mesti involved, jangan dagang doang atau cuma mau jadi buruh birokratis
Anies Baswedan for President!
Please share if you agree.

Wednesday 20 July 2016

Plagiarism

Ada yang mengikuti ramenya kasus plagiarism istri Trump? Kita di Indonesia sering mengabaikan ini. Saya bahkan pernah memperhatikan seorang MBA yang baru pulang ke Indonesia mengklaim telah membuat framework baru. Setelah saya cek, ternyata itu modifikasi dari framework orang lain. Ia tidak pernah merefer ke sumbernya pula.

Hal ini juga sering terjadi dalam membuat sistem aplikasi. Kita sering mengklaim membuat sistem aplikasi baru. Padahal, itu merefer ke konsep lama atau dari tempat lain. Kita pun lupa menyebutkan sumbernya atau memberi kredit ke pengembang sebelumnya.

Dalam kasus istri Trump ini, tadi malam saya mencoba membahasnya dengan anak saya yang sekolah di SMA di sini. Sebab, soal kemampuan menulis sangat diperhatikan dari kelas dasar di sini. Saya tunjukkan beberapa video terkait itu. Anak saya bilang, "Nggak Pah, ini bukan plagiat." Sampai beberapa contoh video di youtube saya ambilkan baru akhirnya ia menerima bahwa istri Trump benar plagiarism.

Ini contoh video yang meyakinkan sekali bahwa istri Trump melakukannya.

https://www.youtube.com/watch?v=LnLRpPD7aus
https://www.youtube.com/watch?v=_TUMhtAjpg4

Detik.com hari ini juga menampilkan dua perbandingan yang jelas tentang itu. Dan akhirnya staf kampanye Trump harus mengakuinya dengan pahit.

http://news.detik.com/internasional/3257786/pidato-melania-mirip-michelle-obama-staf-trump-mengaku-salah-dan-minta-maaf?_ga=1.103126208.1934865148.1422396559

Di dunia akademik apa yang ditampilkan oleh Detik.com itu bisa dengan mudah dihasilkan oleh turnetin.com.

Karenanya, berhati-hatilah ketika menulis seolah-olah itu ide orisinal Anda. Dunia internet sangat mudah melakukan tindakan copy-paste saat ini. Paling sederhana, kalau Anda tidak bisa membuat tulisan orisinil, biasakan menyebutkan sumbernya, sebelum mempermalukan diri Anda sendiri di muka umum karena orang bisa dengan mudahnya mengecek plagiarism dengan software yang ada saat ini.

Wednesday 22 June 2016

Masih adakah budak di jaman modern ini?

Di NZ, untuk mendapatkan visa bekerja cukup sulit. Walaupun Anda mempunyai keahlian dan pengalaman, Imigrasi akan mengecek apakah keahlian Anda itu memang dibutuhkan di NZ. Kemudian, untuk memudahkan proses mendapatkan visa kerja ini, Anda mesti mendapatkan sponsor dari suatu perusahaan. Jika ada perusahaan yang mau sponsori Anda, maka visa Anda akan diterbitkan. 

Visa Anda akan diterbitkan oleh Imigrasi dengan masa kerja tertentu. Uniknya, dalam visa kerja itu akan dicantumkan posisi Anda dan di mana Anda bisa bekerja. Lihat gambar berikut. 

Sumber: https://fleuryinthekiwisparadise.wordpress.com/category/general-information/

Selama masa kerja itu, Anda hanya bisa bekerja di perusahaan itu dengan posisi sebagaimana tercantum di visa. Jika Anda pindah pekerjaan atau posisi, maka Anda mesti mengajukan perubahan visa lagi. Tentu Anda harus membayar biaya pengurusan perubahan itu. 

Itu sebenarnya belum begitu menjadi masalah. Yang sering jadi masalah adalah karena Anda hanya bisa bekerja di perusahaan itu, pemberi kerja sering memanfaatkannya. Sebagai contoh, mereka menjadikan ini sebagai alat bargaining agar Anda patuh bekerja. Jika tidak, maka mereka akan memecat Anda dan memberitahukan Imigrasi bahwa Anda tidak bekerja lagi di tempatnya. Jika dalam waktu tertentu Anda tidak mendapatkan pekerjaan alternatif, maka Anda mesti meninggalkan NZ. 

Karena posisi Anda yang lemah itu, Anda bisa diperlakukan sebagai budak oleh pemberi kerja. Anda mesti bekerja keras, tetapi dengan gaji yang rendah. Beberapa pekerja dari India sering mengalami ini. Biasanya, mereka bekerja di NZ dengan orang India juga. Kemudian, mereka mau dibayar rendah karena takut akan dipecat. 

Baru-baru ini, perbudakan itu muncul lagi di berita. Seorang pengusaha memanfaatkan kelemahan tersebut (SK Brother). Untungnya, ketika dipecat, ia bisa mencari pekerjaan pengganti. Kemudian, ia mendapat visa kerja baru di NZ dan menuntut pemberi kerja tersebut ke ERA (semacam badan penyelesaian perselisihan di Indonesia). Pemberi kerja akhirnya dihukum untuk membayar gaji yang kurang dibayar. Lihat berita berikut. 
http://www.nzherald.co.nz/employment-relations/news/article.cfm?c_id=189&objectid=11648603

Karenanya, ketika Anda mencari kerja di NZ, perhatikan keterbatasan ini. Jika Anda merasa dirugikan, segeralah melapor ke ERA. 

Thursday 17 March 2016

"Bangsa Maori dan Batak"

Kebetulan saya pernah ketemu orang yang memanggil orang yang sudah  dituakan dengan panggilan Patua. Saya kaget juga mendengarnya. Terus saya tanya ke orang itu kenapa ia dipanggil Patua. Terus saya tanya juga apa ia Maori. Ia mengakui bahwa dirinya Maori. Terus saya tanya, koq hampir sama dengan panggilan di Batak. Rupanya ia pun sudah tahu itu dari yang pernah dibacanya walaupun tidak pernah ke tanah Batak.

Saya sebelumnya mencatat beberapa kesamaan bahasa dan rumah adat (whanui). Ada sada, dua, tolu, dstnya di Batak seperti halnya Maori. Di tanah Batak ada bagas godang tempat berembug adat seperti halnya Maori. Seremonial adat pun persis sama, seperti bagaimana pentingnya peran ibu/wanita dalam menerima tamu. Kami pun tadi becanda soal banyaknya seremonial adat Maori dan Batak yang mirip.

Maori memiliki panggilan Patua dan Matua untuk paman. Di tanah Batak itu dipanggil Bapatua dan Amangtua. Sempat tadi disebut juga panggilan Ina untuk bibi di Maori. Saya nggak ngeh kalau ada panggilan itu di kekerabatan Batak. Baru ingat lagi seorang Batak memanggil bibinya Inangtua.

Yang menarik filosofi ayah. Ternyata Maori sama dengan Batak. Orang Batak itu memberlakukan ayah bukan hanya terhadap ayah biologisnya, tetapi juga saudara laki-laki ayahnya itu mesti diberlakukan sebagai ayahnya juga. Begitu juga anak. Saya memberlakukan anak seperti anak sendiri itu bukan anak saya saja, tetapi juga anak-anak saudara lelaki saya (saudara perempuan tidak masuk hitungan 😀)

Maori juga banyak yang berperawakan seperti orang Batak. Ada bahkan orang Batak di New Zealand itu diberlakukan seperti Maori, bahkan bisa tinggal di state house (rumah yang disubsidi pemerintah) yang umumnya diprioritaskan untuk orang Maori.

Kawan-kawan yg murni Batak perlu bangga sebagai orang asli Batak. 

Monday 29 February 2016

"Ginjal dan Sistem Destruksi pada Manusia"

Seorang teman pernah bercerita -- ketika orang tuanya meninggal -- pada dasarnya di setiap manusia itu sudah ditanamkan destructive system. Sistem ini yang telah mengatur kapan seorang manusia itu akan bertemu Sang Khalik, Yang Maha Pencipta. Itu tidak terhindarkan.

Saya awalnya tidak begitu mengerti apa yang dimaksudnya tentang sistem destruksi ini. Sampai minggu lalu saya mengikuti test darah di http://www.labtests.co.nz/ (tanpa biaya apapun karena di NZ ditanggung oleh negara). Biasanya dalam test darah kita hanya fokus terhadap tingkat kolesterol buruk kita. Logikanya, kolesterol buruk jika dibiarkan pada angka di luar normal akan menumpuk di pembuluh darah jantung kita. Yang lama-lama, akan menghambat fungsi jantung. Karenanya, kita pun selalu berusaha agar tingkat kolesterol buruk kita berada pada skala normal. Jika kita bisa mengendalikan kolesterol, maka jantung kita akan aman dan mungkin umur kita bisa lebih panjang. Artinya, kita bisa memperpanjang umur kita dengan mengendalikan kolesterol buruk di tubuh kita, jika dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa.

Namun, ternyata dalam tubuh kita ada sebenarnya proses destruksi alami yang tidak terhindarkan. Apapun usaha yang kita lakukan, tidak mengubah proses destruksi ini. Dalam test darah hal ini bisa kita lihat pada indikator yang disebut eGFR (estimated glomerular filtration rate). Indikator ini mengukur fungsi ginjal kita. Indikator ini terkait langsung dengan umur kita. Sebuah sistem destruksi alami yang diciptakan oleh Yang Maha Pencipta.

Katakan, jika kita masih muda, fungsi ginjal kita idealnya 100%. Ketika kita berumur 60 tahun, fungsi ginjal kita sekitar 30%. Itu adalah proses alami yang tidak bisa kita hindarkan. Anda ingin berolahraga seperti apapun, proses destruksi itu akan terjadi. Ibarat sebuah mesin yang memproses apa yang kita masukkan, dan apa yang kita keluarkan, mesin ini juga lama-lama akan mengalami kehausan.

Penurunan atau damage fungsi ginjal secara normal tidak terhindarkan. Siapapun akan mengalaminya. Yang dijaga oleh dokter adalah jangan sampai proses destruksi ini terjadi lebih cepat dari jangka waktu normalnya. Misalnya, jika masih muda, jangan sampai fungsi ginjal kita sudah 30%. Sebab, tidak lama lagi akan menurun, dan ketika tinggal 15%, maka kita membutuhkan alat tambahan untuk mencuci darah kita. Dengan demikian, umurnya tidak akan lama lagi.

Sayangnya, pengetahuan terkait indikator eGFR ini jarang kita peroleh, dibandingkan pengetahuan tentang kolestorol dan fungsi jantung. Kebanyakan kita tahu-tahu sudah mengalami gagal ginjal. Indikasi gagal ginjal pun sering tanpa tanda-tanda. Bisa saja karena mengkonsumsi sesuatu, tiba-tiba kita mengalami gagal ginjal. Karena itu, kita harus berhati-hati dalam mengkonsumsi, terutama obat-obatan atau jamu yang bisa menghancurkan fungsi ginjal kita. Kadang karena mengalami sesuatu penyakit, dokter memberikan obat yang bisa menghancurkan fungsi ginjal kita secara total.

Sistem destruksi ini ternyata memang mengajarkan kepada kita bahwa kita bukan apa-apa di dunia ini. Kita hanya menjalankan apa yang diarahkan oleh Sang Maha Pencipta. Sehebat apapun kita, ada waktunya kita di dunia ini. Kita tidak bisa menghindari itu.

Sunday 31 January 2016

Indonesiaku, Persoalan Karakter Bangsa atau Sistem?

Catatan ringan menyambut membaiknya indeks persepsi korupsi Indonesia. 

Minggu lalu saya mengikuti sharing seorang owner restoran yang menjual steak dengan harga 'terjangkau' di Indonesia. Ia mempunyai sekitar 80 cabang dan 1700 karyawan. Target market-nya para mahasiswa atau mereka yang berpendapatan menengah ke bawah. Kebetulan, pemilik restoran ini sedang berwisata ke Australia dan mempunyai teman di Auckland, Selandia Baru. Oleh temannya ini, ia digadang-gadang untuk berbagi pengalamannya dalam mengelola restorannya ke warga Indonesia yang bermukim di Auckland. Khususnya, berbagai pengalamannya dalam mengembangkan sekolah tahfidz dari pendapatan yang dihasilkan restoran tersebut. Sebagian pendapatan dari restoran tersebut digunakan untuk mendukung sekolah tahfidz tersebut. Suatu usaha yang mulia.

Ketika tiba di Auckland, pemilik restoran ini sangat kagum dengan apa yang dilihatnya. Dua komentarnya yang saya catat. Pertama, dia kagum ketika sedang akan menyeberang ternyata kendaraan yang akan lewat berhenti langsung dan mempersilahkannya lewat. Kedua, dia kagum dengan mesin parkir yang ada di sini. Masyarakat membayar langsung ke mesin tersebut tanpa ada petugas parkirnya.

Pemilik restoran ini lantas membandingkannya dengan Indonesia. Dia bilang, kalau di Indonesia kita susah sekali menyeberang. Kemudian, mesin parkir tidak akan jalan kalau tidak ada petugas parkirnya. Ia pun menyimpulkan ada persoalan 'karakter' di masyarakat Indonesia. Kita memang memiliki masalah karakter, katanya. Kesannya, rakyat Indonesia mempunyai karakter yang buruk.

Tadinya, saya ingin meluruskan pandangannya. Namun, karena ia harus pergi setelah acara tersebut untuk kepentingan lain, saya tidak sempat meluruskan pandangannya.

Yang saya ingin luruskan adalah, kita sering meng-underestimate permasalahan di Indonesia hanya melihat dari karakter bangsanya. Padahal, kalau tidak karena karakter yang kuat, tidak mungkin bangsa Indonesia bisa memerdekakan dirinya dari para kolonialis (dalam bahasa masa kini, mereka disebut kapitalis atau mungkin juga investor). Pendiri NKRI tentu mereka yang memiliki karakter yang kokoh. Bisa dibayangkan, dengan karakternya yang kuat itu mereka mempunyai cita-cita dan memproklamasikan berdirinya negara kesatuan (integrated state) pada tahun 1945. Padahal, banyak tantangannya. Mereka bercita-cita mengintegrasikan daerah-daerah yang secara pemerintahan masih dikelola oleh berbagai kerajaan di nusantara. Mereka juga bercita-cita mengintegrasikan manusia-manusia yang berasal dari berbagai suku bangsa yang berbeda. Indonesia adalah negara suku bangsa yang berasal dari India, Cina, Eropa, bahkan Afrika yang kini bermetamorfosis menjadi suku Jawa, Sunda, Batak, Ambon, dan seterusnya. Belum lagi, pendiri bangsa kita itu bercita-cita mengintegrasikan berbagai daerah yang secara fisik sebenarnya sudah terpisah-pisah oleh lautan, berbagai kepulauan yang tersebar.

Jika tidak karena karakter yang kuat, cita-cita itu tentu tidak akan ada lagi yang mau meneruskannya saat ini. Dengan berbagai tantangan dari segi sejarah pemerintahan masa lalu, manusianya yang beragam, dan lokasi fisiknya yang tersebar, tentu tidak banyak orang yang dengan tegar mau terus-menerus merealisasikan cita-cita founder kita tersebut. Namun, kita bisa lihat sampai sekarang masih banyak rakyat dan pemimpinnya di Indonesia yang begitu kokoh mempertahankan cita-cita tersebut. Bahkan, mereka menggenggam dengan kokoh slogan populer seperti "NKRI Harga Mati".

Cara pandang yang terlalu cepat menyalahkan karakter manusia sebagai persoalan di Indonesia biasanya disimpulkan oleh mereka yang sesaat saja pernah berwisata atau studi di luar negeri. Ketika mereka pulang, mereka terkagum-kagum dengan apa yang dilihatnya, membandingkannya dengan Indonesia, dan lantas pesimis dengan apa yang terjadi di Indonesia. Padahal, apa yang dilihatnya sesaat itu di negara lain tidak selalu merepresentasikan kondisi real yang ada. Tidak selalu loch "rumput tetangga itu lebih hijau dari rumput kita".

Sebagai contoh, terkait dengan yang dilihat oleh pemilik restoran tadi. Ia diperlakukan demikian karena menyeberang di jalur zebra cross. Jika saja ia menyeberang di jalur biasa yang tidak ada zebra cross-nya, pengemudi di sini tidak segan-segan untuk menabrakkan mobilnya ke penyeberang jalan. Sebab, mereka merasa berada pada posisi yang tidak salah. Jika pun nanti terjadi accident, maka pengemudi tadi tidak akan disalahkan.

Contoh kedua adalah mesin parkir. Pengemudi kendaraan yang memarkirkan mobilnya akan taat membayar biaya parkir ke mesin parkir bukan semuanya karena karakternya. Siapapun tidak mau membayar parkir yang cukup mahal. Inginnya tentu parkir gratis. Mereka terpaksa taat membayar parkir karena ada petugas penegak sistem parkir (parking warden) yang secara periodik berkeliling mengecek apakah ada mobil yang tidak menampilkan karcis parkirnya. Petugas ini akan memberikan tiket dengan nilai lumayan jika karcis tadi tidak ditampilkan di dashboard mobil kita atau menampilkan karcis dengan waktu sudah kadaluarsa. Bahkan, mereka tidak segan-segan mengangkut mobil kita (towing) jika kita memarkir di tempat yang terlarang, seperti lahan pribadi orang lain.

Dari kedua contoh ini, tampak jelas bahwa hal itu berjalan dengan baik karena adanya sistem yang dibangun. Sistem itu kemudian dijalankan dengan ketat. Dalam sistem tersebut juga ada pihak-pihak yang gigih menegakkan sistem agar berjalan dengan baik.

Kita juga sering pesimis dengan Indonesia terkait dengan kriminalitas dan korupsi. Padahal, bukan berarti kita lebih buruk. Dalam masalah kriminal, tingkat kriminalitas memecahkan kaca mobil yang parkir di malam hari demikian tingginya di Auckland. Ketika kita memarkir mobil di dekat taman (yang biasanya bebas biaya parkir di malam hari), risiko dipecahkannya kaca mobil kita tinggi. Hal ini terjadi karena banyak orang yang bermabukan di taman pada malam hari dan kemudian di luar alam sadarnya memecahkan kaca mobil yang sedang parkir di sekitar taman. Namun, informasi ini kurang terungkap karena pemilik mobil di sini biasanya memiliki asuransi. Pihak asuransi pun tidak menanyakan di mana kejadiannya ketika kaca mobil kita dipecahkan. Mereka akan langsung menggantinya dengan mengontak salah satu kontraktornya untuk memperbaiki kaca mobil kita yang dipecahkan tersebut. Kita juga tidak perlu melaporkan ke polisi untuk itu. Dengan demikian, informasi kriminal seperti ini tidak terpublikasikan dengan luas. Bandingkan dengan di Indonesia yang saat ini informasi kriminal hampir tiap saat terpublikasikan.

Begitu juga dengan informasi korupsi. Bukan berarti korupsi tidak tinggi di sini. Korupsi selalu saja ada. Selalu saja ada orang yang ingin mengambil keuntungan dengan mudah. Contohnya, baru-baru ini ada seorang kepala sekolah didakwa karena memanipulasi anggaran sekolah untuk kepentingan dirinya. Namun, bedanya di Indonesia, mereka yang dijadikan tersangka itu tidak bisa begitu saja bisa diumumkan namanya dan di-bully di media massa. Mereka bisa meminta agar namanya tidak diungkap secara terbuka dengan alasan tertentu (name suppression).

Pesimisme pemberantasan korupsi di Indonesia muncul karena begitu terbukanya media saat ini. Hampir setiap hari kita dibombardir oleh media tentang kasus korupsi dengan alasan transparansi; walaupun kasus korupsi itu masih dugaan. Hal ini membangun terus-menerus alam luar sadar kita bahwa Indonesia adalah negara yang korup dan membuat kita semakin pesimis dengan Indonesia dan kemudian mengambil simpulan sedemikian buruknya karakter bangsa Indonesia. Padahal, tidak selalu demikian halnya.

Kita harus selalu mempunyai kepercayaan bahwa masih banyak rakyat Indonesia yang mempunyai karakter yang baik. Beberapa masyarakat Indonesia yang mempunyai karakter buruk bisa dibangun menjadi semakin baik jika sistem dijalankan dan ditegakkan. Kita sebagai warga Indonesia harus percaya bahwa setahap demi setahap kita bisa membangun sistem tersebut dan karenanya kita membutuhkan optimisme untuk itu. Hal ini telah dibuktikan dengan berhasilnya kita menaikkan ranking Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari sekitar 100-an lebih di masa lalu menjadi ranking 88 belakangan ini. Skor kita juga membaik menjadi 36 saat ini (dari sebelumnya hanya 19 di tahun 2000!).

Monday 11 January 2016

Mempolitisasi Kinerja Menteri

Source: http://news.detik.com/kolom/3114841/mempolitisasi-kinerja-menteri

Publikasi indeks 'pengelolaan' kinerja kementerian/lembaga yang diusung oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB), Yuddy Chrisnandi, ternyata menimbulkan kontroversi. Padahal, publikasi indeks ini adalah hal yang lazim saja selama ini dan telah dilaksanakan bertahun-tahun sebelumnya.

Bisa dibilang, kebiasaan mempublikasi indeks ini telah didorong sejak reformasi awal 2000-an di Indonesia sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas layanan sektor publik. Pengumuman ini pun biasanya ditanggapi biasa-biasa saja oleh para politisi di tingkat nasional. Baru kali ini pengumuman ini mendapatkan tanggapan yang serius dari para politisi dan leader di sektor publik.

Di satu sisi, kita sangat mengapresiasi tanggapan keras dari para politisi tersebut. Utamanya adalah ketika mereka berbicara tentang siapa yang berhak menilai kinerja seorang menteri atau pimpinan lembaga. Walaupun tidak mencerminkan langsung kinerja seorang menteri/pimpinan lembaga, tetapi hanya organisasi kementerian/lembaganya (seperti ditegaskan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla), indeks ini juga merepresentasikan kinerja individu seorang menteri/pimpinan lembaga di mata masyarakatnya.

Masyarakat tentu akan mempunyai kesan bahwa kementerian/lembaga yang mendapat indeks rendah itu dipimpin oleh menteri/pimpinan lembaga yang tidak berkinerja, paling tidak dianggap tidak mampu 'mengelola' kinerja. Hal ini juga akan melanda persepsi beberapa pegawai di kementerian/lembaga yang mendapat indeks rendah tersebut.

Sebab, walaupun penilaian kinerja untuk jabatan puncak itu biasanya difokuskan pada kinerja organisasi kementerian/lembaga, biasanya ia juga merepresentasikan atau menilai kinerja individu pejabat puncak tadi (DeNisi & Smith, 2014). Karenanya, penilaian kinerja kementerian/lembaga sektor publik tidak bisa dilepaskan begitu saja dari penilaian kinerja individu menteri/pimpinan lembaga itu sendiri.

Itulah sebabnya, pertanyaan tentang siapa yang berhak menilai menteri/pimpinan lembaga dan juga jabatan politis lainnya menjadi sangat krusial: Apakah presiden, partai afiliasi menteri/pimpinan lembaga tadi, seorang (atau beberapa orang) menteri yang ditugasi untuk itu (seperti regulasi saat ini), atau gabungan dari ketiganya?

Selama ini, regulasi tentang sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (atau yang populer dikenal di kalangan sektor publik sebagai SAKIP) hanya mengatur arus informasi dari kementerian/lembaga (dan juga pemerintah daerah) ke Kementerian PAN dan RB. Pada akhir tahun, setiap instansi sektor publik mesti menyampaikan laporan akuntabilitas-nya (atau biasa dikenal sebagai LAKIP) ke Kementerian PAN dan RB.

Kemudian, kementerian ini akan mengevaluasi 'pengelolaan' kinerja suatu instansi melalui laporan tersebut dan juga kunjungan ke lapangan. Mereka selanjutnya mengumumkan indeks kementerian/lembaga pemerintah pusat dan pemerintah provinsi pada awal tahun (tanpa perlu meminta izin dari presiden). Lazimnya, indeks ini hanya menimbulkan kontroversi dan menjadi isu politik di daerah.

Tanggapan keras dari politisi tingkat nasional ini mestinya dilihat sebagai peluang untuk memperbaiki sistem kinerja yang ada. Sebab, sampai sekarang sebenarnya tidak ada regulasi setingkat undang-undang yang mengatur sistem penilaian kinerja jabatan politis (political appointee).

Aturan yang ada baru pada tingkatan peraturan pemerintah (PP). Bahkan, bisa dibilang, terdapat duplikasi dan tumpang-tindih yang mencolok di antara PP ini, yang telah banyak dikeluhkan berbagai pihak di sisi praktik (seperti tidak ada manfaatnya, cenderung mekanikal, pemborosan kertas, hanya 'gaming', dan karenanya dianggap main-main saja).

Ketidaksinkronan regulasi ini bisa ditengok dari PP terkait evaluasi pelaksanaan rencana (yang diusung oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional), PP terkait evaluasi kinerja keuangan (yang diusung oleh Kementerian Keuangan), dan PP terkait evaluasi 'pengelolaan' kinerja (yang diusung oleh Kementerian PAN dan RB). Di tingkat pemerintah daerah, bahkan bisa dilihat 'konflik' ketiga regulasi ini dengan peraturan yang diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri (misalnya peraturan tentang evaluasi penyelenggaran pemerintahan daerah).

Pemerintah dan DPR mestinya menjadikan momen ini untuk memperjelas dan mengintegrasikan sistem kinerja jabatan politis dengan aturan setingkat undang-undang (dan tidak sekedar menyatakan bahwa penilaian kinerja menteri adalah urusan presiden). Bahkan, undang-undang ini mestinya juga mengatur bagaimana mengevaluasi kinerja presiden setiap tahunnya.

Di berbagai negara, aturan ini sudah mulai diusung. Dengan undang-undang ini, penilaian kinerja presiden pun akan semakin objektif dan tidak mudah dipolitisasi seperti saat ini. Dengan aturan ini, penggantian presiden yang tidak berkinerja di tengah jalan juga dianggap hal biasa-biasa saja dan bukan lagi masalah besar.

Masyarakat tidak perlu lagi 'menikmati' kelelahan dengan presiden yang tidak berkinerja dan harus menunggu penggantinya terlalu lama, yaitu selama periode pemerintahan lima tahunan. Sebab, dinamika global membutuhkan cepatnya peralihan kepemimpinan yang tidak berkinerja ke pemerintahan baru agar tidak membebani rakyat terlalu lama dan suatu negara tetap bisa terus sustain melayani kepentingan publik.

Tanggapan keras dari politisi ini juga bisa menjadi pelajaran penting bagi para teknokrat di birokrasi. Selama ini, mereka – utamanya yang terlibat langsung dengan pengelolaan dan evaluasi atau 'audit' akuntabilitas kinerja sektor publik – cenderung kurang memahami bahwa sistem pengelolaan kinerja bagaimanapun adalah berurusan dengan politik.

Pakar pengelolaan kinerja publik seperti van Dooren (2011) mengingatkan bahwa sistem kinerja dan penggunaan informasi kinerja seperti indeks yang diusung oleh Kementerian PAN dan RB itu haruslah 'politikal'. Para birokrat haruslah memahami "the political nature of performance management" dan melibatkan lebih banyak aktor dalam sistem kinerja, termasuk politisi (van Dooren, 2011).
 
Para birokrat tidak bisa lagi melihat sistem kinerja hanya secara mekanistik hirarkikal seperti lazimnya saat ini, di mana hanya dilihat sebagai mekanisme klerikal penilaian kinerja secara berjenjang dari suatu instansi ke Kementerian PAN dan RB; sebuah ritual tahunan yang bersifat simbolik.

Melihatnya secara politikal akan memungkinkan sistem kinerja tidak lagi dipandang sebelah mata oleh para menteri/pimpinan lembaga, bahkan pegawai di tingkat bawah. Keterlibatan politisi dalam diskursus sistem kinerja sektor publik akan memungkinkan sistem kinerja yang diimplementasikan semakin efektif dan pada akhirnya sistem kinerja bisa mendorong instansi publik dan pegawai-pegawainya semakin berkembang (van Dooren, 2011).

Ini akan sangat bermanfaat bagi rakyat dalam jangka panjang, di mana layanan publik akan semakin meningkat kualitasnya dan mereka merasakan langsung kinerja sebuah pemerintahan.