Sunday 31 January 2016

Indonesiaku, Persoalan Karakter Bangsa atau Sistem?

Catatan ringan menyambut membaiknya indeks persepsi korupsi Indonesia. 

Minggu lalu saya mengikuti sharing seorang owner restoran yang menjual steak dengan harga 'terjangkau' di Indonesia. Ia mempunyai sekitar 80 cabang dan 1700 karyawan. Target market-nya para mahasiswa atau mereka yang berpendapatan menengah ke bawah. Kebetulan, pemilik restoran ini sedang berwisata ke Australia dan mempunyai teman di Auckland, Selandia Baru. Oleh temannya ini, ia digadang-gadang untuk berbagi pengalamannya dalam mengelola restorannya ke warga Indonesia yang bermukim di Auckland. Khususnya, berbagai pengalamannya dalam mengembangkan sekolah tahfidz dari pendapatan yang dihasilkan restoran tersebut. Sebagian pendapatan dari restoran tersebut digunakan untuk mendukung sekolah tahfidz tersebut. Suatu usaha yang mulia.

Ketika tiba di Auckland, pemilik restoran ini sangat kagum dengan apa yang dilihatnya. Dua komentarnya yang saya catat. Pertama, dia kagum ketika sedang akan menyeberang ternyata kendaraan yang akan lewat berhenti langsung dan mempersilahkannya lewat. Kedua, dia kagum dengan mesin parkir yang ada di sini. Masyarakat membayar langsung ke mesin tersebut tanpa ada petugas parkirnya.

Pemilik restoran ini lantas membandingkannya dengan Indonesia. Dia bilang, kalau di Indonesia kita susah sekali menyeberang. Kemudian, mesin parkir tidak akan jalan kalau tidak ada petugas parkirnya. Ia pun menyimpulkan ada persoalan 'karakter' di masyarakat Indonesia. Kita memang memiliki masalah karakter, katanya. Kesannya, rakyat Indonesia mempunyai karakter yang buruk.

Tadinya, saya ingin meluruskan pandangannya. Namun, karena ia harus pergi setelah acara tersebut untuk kepentingan lain, saya tidak sempat meluruskan pandangannya.

Yang saya ingin luruskan adalah, kita sering meng-underestimate permasalahan di Indonesia hanya melihat dari karakter bangsanya. Padahal, kalau tidak karena karakter yang kuat, tidak mungkin bangsa Indonesia bisa memerdekakan dirinya dari para kolonialis (dalam bahasa masa kini, mereka disebut kapitalis atau mungkin juga investor). Pendiri NKRI tentu mereka yang memiliki karakter yang kokoh. Bisa dibayangkan, dengan karakternya yang kuat itu mereka mempunyai cita-cita dan memproklamasikan berdirinya negara kesatuan (integrated state) pada tahun 1945. Padahal, banyak tantangannya. Mereka bercita-cita mengintegrasikan daerah-daerah yang secara pemerintahan masih dikelola oleh berbagai kerajaan di nusantara. Mereka juga bercita-cita mengintegrasikan manusia-manusia yang berasal dari berbagai suku bangsa yang berbeda. Indonesia adalah negara suku bangsa yang berasal dari India, Cina, Eropa, bahkan Afrika yang kini bermetamorfosis menjadi suku Jawa, Sunda, Batak, Ambon, dan seterusnya. Belum lagi, pendiri bangsa kita itu bercita-cita mengintegrasikan berbagai daerah yang secara fisik sebenarnya sudah terpisah-pisah oleh lautan, berbagai kepulauan yang tersebar.

Jika tidak karena karakter yang kuat, cita-cita itu tentu tidak akan ada lagi yang mau meneruskannya saat ini. Dengan berbagai tantangan dari segi sejarah pemerintahan masa lalu, manusianya yang beragam, dan lokasi fisiknya yang tersebar, tentu tidak banyak orang yang dengan tegar mau terus-menerus merealisasikan cita-cita founder kita tersebut. Namun, kita bisa lihat sampai sekarang masih banyak rakyat dan pemimpinnya di Indonesia yang begitu kokoh mempertahankan cita-cita tersebut. Bahkan, mereka menggenggam dengan kokoh slogan populer seperti "NKRI Harga Mati".

Cara pandang yang terlalu cepat menyalahkan karakter manusia sebagai persoalan di Indonesia biasanya disimpulkan oleh mereka yang sesaat saja pernah berwisata atau studi di luar negeri. Ketika mereka pulang, mereka terkagum-kagum dengan apa yang dilihatnya, membandingkannya dengan Indonesia, dan lantas pesimis dengan apa yang terjadi di Indonesia. Padahal, apa yang dilihatnya sesaat itu di negara lain tidak selalu merepresentasikan kondisi real yang ada. Tidak selalu loch "rumput tetangga itu lebih hijau dari rumput kita".

Sebagai contoh, terkait dengan yang dilihat oleh pemilik restoran tadi. Ia diperlakukan demikian karena menyeberang di jalur zebra cross. Jika saja ia menyeberang di jalur biasa yang tidak ada zebra cross-nya, pengemudi di sini tidak segan-segan untuk menabrakkan mobilnya ke penyeberang jalan. Sebab, mereka merasa berada pada posisi yang tidak salah. Jika pun nanti terjadi accident, maka pengemudi tadi tidak akan disalahkan.

Contoh kedua adalah mesin parkir. Pengemudi kendaraan yang memarkirkan mobilnya akan taat membayar biaya parkir ke mesin parkir bukan semuanya karena karakternya. Siapapun tidak mau membayar parkir yang cukup mahal. Inginnya tentu parkir gratis. Mereka terpaksa taat membayar parkir karena ada petugas penegak sistem parkir (parking warden) yang secara periodik berkeliling mengecek apakah ada mobil yang tidak menampilkan karcis parkirnya. Petugas ini akan memberikan tiket dengan nilai lumayan jika karcis tadi tidak ditampilkan di dashboard mobil kita atau menampilkan karcis dengan waktu sudah kadaluarsa. Bahkan, mereka tidak segan-segan mengangkut mobil kita (towing) jika kita memarkir di tempat yang terlarang, seperti lahan pribadi orang lain.

Dari kedua contoh ini, tampak jelas bahwa hal itu berjalan dengan baik karena adanya sistem yang dibangun. Sistem itu kemudian dijalankan dengan ketat. Dalam sistem tersebut juga ada pihak-pihak yang gigih menegakkan sistem agar berjalan dengan baik.

Kita juga sering pesimis dengan Indonesia terkait dengan kriminalitas dan korupsi. Padahal, bukan berarti kita lebih buruk. Dalam masalah kriminal, tingkat kriminalitas memecahkan kaca mobil yang parkir di malam hari demikian tingginya di Auckland. Ketika kita memarkir mobil di dekat taman (yang biasanya bebas biaya parkir di malam hari), risiko dipecahkannya kaca mobil kita tinggi. Hal ini terjadi karena banyak orang yang bermabukan di taman pada malam hari dan kemudian di luar alam sadarnya memecahkan kaca mobil yang sedang parkir di sekitar taman. Namun, informasi ini kurang terungkap karena pemilik mobil di sini biasanya memiliki asuransi. Pihak asuransi pun tidak menanyakan di mana kejadiannya ketika kaca mobil kita dipecahkan. Mereka akan langsung menggantinya dengan mengontak salah satu kontraktornya untuk memperbaiki kaca mobil kita yang dipecahkan tersebut. Kita juga tidak perlu melaporkan ke polisi untuk itu. Dengan demikian, informasi kriminal seperti ini tidak terpublikasikan dengan luas. Bandingkan dengan di Indonesia yang saat ini informasi kriminal hampir tiap saat terpublikasikan.

Begitu juga dengan informasi korupsi. Bukan berarti korupsi tidak tinggi di sini. Korupsi selalu saja ada. Selalu saja ada orang yang ingin mengambil keuntungan dengan mudah. Contohnya, baru-baru ini ada seorang kepala sekolah didakwa karena memanipulasi anggaran sekolah untuk kepentingan dirinya. Namun, bedanya di Indonesia, mereka yang dijadikan tersangka itu tidak bisa begitu saja bisa diumumkan namanya dan di-bully di media massa. Mereka bisa meminta agar namanya tidak diungkap secara terbuka dengan alasan tertentu (name suppression).

Pesimisme pemberantasan korupsi di Indonesia muncul karena begitu terbukanya media saat ini. Hampir setiap hari kita dibombardir oleh media tentang kasus korupsi dengan alasan transparansi; walaupun kasus korupsi itu masih dugaan. Hal ini membangun terus-menerus alam luar sadar kita bahwa Indonesia adalah negara yang korup dan membuat kita semakin pesimis dengan Indonesia dan kemudian mengambil simpulan sedemikian buruknya karakter bangsa Indonesia. Padahal, tidak selalu demikian halnya.

Kita harus selalu mempunyai kepercayaan bahwa masih banyak rakyat Indonesia yang mempunyai karakter yang baik. Beberapa masyarakat Indonesia yang mempunyai karakter buruk bisa dibangun menjadi semakin baik jika sistem dijalankan dan ditegakkan. Kita sebagai warga Indonesia harus percaya bahwa setahap demi setahap kita bisa membangun sistem tersebut dan karenanya kita membutuhkan optimisme untuk itu. Hal ini telah dibuktikan dengan berhasilnya kita menaikkan ranking Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari sekitar 100-an lebih di masa lalu menjadi ranking 88 belakangan ini. Skor kita juga membaik menjadi 36 saat ini (dari sebelumnya hanya 19 di tahun 2000!).

Monday 11 January 2016

Mempolitisasi Kinerja Menteri

Source: http://news.detik.com/kolom/3114841/mempolitisasi-kinerja-menteri

Publikasi indeks 'pengelolaan' kinerja kementerian/lembaga yang diusung oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB), Yuddy Chrisnandi, ternyata menimbulkan kontroversi. Padahal, publikasi indeks ini adalah hal yang lazim saja selama ini dan telah dilaksanakan bertahun-tahun sebelumnya.

Bisa dibilang, kebiasaan mempublikasi indeks ini telah didorong sejak reformasi awal 2000-an di Indonesia sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas layanan sektor publik. Pengumuman ini pun biasanya ditanggapi biasa-biasa saja oleh para politisi di tingkat nasional. Baru kali ini pengumuman ini mendapatkan tanggapan yang serius dari para politisi dan leader di sektor publik.

Di satu sisi, kita sangat mengapresiasi tanggapan keras dari para politisi tersebut. Utamanya adalah ketika mereka berbicara tentang siapa yang berhak menilai kinerja seorang menteri atau pimpinan lembaga. Walaupun tidak mencerminkan langsung kinerja seorang menteri/pimpinan lembaga, tetapi hanya organisasi kementerian/lembaganya (seperti ditegaskan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla), indeks ini juga merepresentasikan kinerja individu seorang menteri/pimpinan lembaga di mata masyarakatnya.

Masyarakat tentu akan mempunyai kesan bahwa kementerian/lembaga yang mendapat indeks rendah itu dipimpin oleh menteri/pimpinan lembaga yang tidak berkinerja, paling tidak dianggap tidak mampu 'mengelola' kinerja. Hal ini juga akan melanda persepsi beberapa pegawai di kementerian/lembaga yang mendapat indeks rendah tersebut.

Sebab, walaupun penilaian kinerja untuk jabatan puncak itu biasanya difokuskan pada kinerja organisasi kementerian/lembaga, biasanya ia juga merepresentasikan atau menilai kinerja individu pejabat puncak tadi (DeNisi & Smith, 2014). Karenanya, penilaian kinerja kementerian/lembaga sektor publik tidak bisa dilepaskan begitu saja dari penilaian kinerja individu menteri/pimpinan lembaga itu sendiri.

Itulah sebabnya, pertanyaan tentang siapa yang berhak menilai menteri/pimpinan lembaga dan juga jabatan politis lainnya menjadi sangat krusial: Apakah presiden, partai afiliasi menteri/pimpinan lembaga tadi, seorang (atau beberapa orang) menteri yang ditugasi untuk itu (seperti regulasi saat ini), atau gabungan dari ketiganya?

Selama ini, regulasi tentang sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (atau yang populer dikenal di kalangan sektor publik sebagai SAKIP) hanya mengatur arus informasi dari kementerian/lembaga (dan juga pemerintah daerah) ke Kementerian PAN dan RB. Pada akhir tahun, setiap instansi sektor publik mesti menyampaikan laporan akuntabilitas-nya (atau biasa dikenal sebagai LAKIP) ke Kementerian PAN dan RB.

Kemudian, kementerian ini akan mengevaluasi 'pengelolaan' kinerja suatu instansi melalui laporan tersebut dan juga kunjungan ke lapangan. Mereka selanjutnya mengumumkan indeks kementerian/lembaga pemerintah pusat dan pemerintah provinsi pada awal tahun (tanpa perlu meminta izin dari presiden). Lazimnya, indeks ini hanya menimbulkan kontroversi dan menjadi isu politik di daerah.

Tanggapan keras dari politisi tingkat nasional ini mestinya dilihat sebagai peluang untuk memperbaiki sistem kinerja yang ada. Sebab, sampai sekarang sebenarnya tidak ada regulasi setingkat undang-undang yang mengatur sistem penilaian kinerja jabatan politis (political appointee).

Aturan yang ada baru pada tingkatan peraturan pemerintah (PP). Bahkan, bisa dibilang, terdapat duplikasi dan tumpang-tindih yang mencolok di antara PP ini, yang telah banyak dikeluhkan berbagai pihak di sisi praktik (seperti tidak ada manfaatnya, cenderung mekanikal, pemborosan kertas, hanya 'gaming', dan karenanya dianggap main-main saja).

Ketidaksinkronan regulasi ini bisa ditengok dari PP terkait evaluasi pelaksanaan rencana (yang diusung oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional), PP terkait evaluasi kinerja keuangan (yang diusung oleh Kementerian Keuangan), dan PP terkait evaluasi 'pengelolaan' kinerja (yang diusung oleh Kementerian PAN dan RB). Di tingkat pemerintah daerah, bahkan bisa dilihat 'konflik' ketiga regulasi ini dengan peraturan yang diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri (misalnya peraturan tentang evaluasi penyelenggaran pemerintahan daerah).

Pemerintah dan DPR mestinya menjadikan momen ini untuk memperjelas dan mengintegrasikan sistem kinerja jabatan politis dengan aturan setingkat undang-undang (dan tidak sekedar menyatakan bahwa penilaian kinerja menteri adalah urusan presiden). Bahkan, undang-undang ini mestinya juga mengatur bagaimana mengevaluasi kinerja presiden setiap tahunnya.

Di berbagai negara, aturan ini sudah mulai diusung. Dengan undang-undang ini, penilaian kinerja presiden pun akan semakin objektif dan tidak mudah dipolitisasi seperti saat ini. Dengan aturan ini, penggantian presiden yang tidak berkinerja di tengah jalan juga dianggap hal biasa-biasa saja dan bukan lagi masalah besar.

Masyarakat tidak perlu lagi 'menikmati' kelelahan dengan presiden yang tidak berkinerja dan harus menunggu penggantinya terlalu lama, yaitu selama periode pemerintahan lima tahunan. Sebab, dinamika global membutuhkan cepatnya peralihan kepemimpinan yang tidak berkinerja ke pemerintahan baru agar tidak membebani rakyat terlalu lama dan suatu negara tetap bisa terus sustain melayani kepentingan publik.

Tanggapan keras dari politisi ini juga bisa menjadi pelajaran penting bagi para teknokrat di birokrasi. Selama ini, mereka – utamanya yang terlibat langsung dengan pengelolaan dan evaluasi atau 'audit' akuntabilitas kinerja sektor publik – cenderung kurang memahami bahwa sistem pengelolaan kinerja bagaimanapun adalah berurusan dengan politik.

Pakar pengelolaan kinerja publik seperti van Dooren (2011) mengingatkan bahwa sistem kinerja dan penggunaan informasi kinerja seperti indeks yang diusung oleh Kementerian PAN dan RB itu haruslah 'politikal'. Para birokrat haruslah memahami "the political nature of performance management" dan melibatkan lebih banyak aktor dalam sistem kinerja, termasuk politisi (van Dooren, 2011).
 
Para birokrat tidak bisa lagi melihat sistem kinerja hanya secara mekanistik hirarkikal seperti lazimnya saat ini, di mana hanya dilihat sebagai mekanisme klerikal penilaian kinerja secara berjenjang dari suatu instansi ke Kementerian PAN dan RB; sebuah ritual tahunan yang bersifat simbolik.

Melihatnya secara politikal akan memungkinkan sistem kinerja tidak lagi dipandang sebelah mata oleh para menteri/pimpinan lembaga, bahkan pegawai di tingkat bawah. Keterlibatan politisi dalam diskursus sistem kinerja sektor publik akan memungkinkan sistem kinerja yang diimplementasikan semakin efektif dan pada akhirnya sistem kinerja bisa mendorong instansi publik dan pegawai-pegawainya semakin berkembang (van Dooren, 2011).

Ini akan sangat bermanfaat bagi rakyat dalam jangka panjang, di mana layanan publik akan semakin meningkat kualitasnya dan mereka merasakan langsung kinerja sebuah pemerintahan.