Tuesday 30 June 2015

Menegakkan Akuntabilitas dan Demokrasi di Indonesia

Siapakah yang lebih powerful, seorang menteri atau anggota DPR? Pertanyaan ini tentu menarik ketika kita melihat peliknya situasi politik belakangan ini, utamanya ketika terjadi debat sengit tentang etika bersidang para pejabat negara di DPR. Kita sering melihat, sebagai contoh, begitu mendebu-debunya seorang anggota DPR menuntut kehadiran seorang menteri di persidangan DPR, tetapi ketika menteri yang diundang akhirnya hadir, hanya segelintir anggota DPR yang hadir. Kita juga sering melihat anggota DPR yang semangat bertanya di awal persidangan, tetapi ketika sang menteri memberi jawaban, anggota DPR itu sudah tidak berada di ruang sidang, sibuk dengan urusan pribadinya di luar.

Dari persidangan itu, kita bisa melihat bahwa anggota DPR merasa begitu powerful-nya dibandingkan dengan seorang menteri. Lihatlah, anggota DPR mempunyai kewenangan memaksa seorang menteri untuk hadir di persidangan, tetapi menteri tidak memiliki kewenangan itu.

Dalam sistem demokrasi  parlementer seperti Selandia Baru, Australia, atau Inggris Raya, seorang menteri jelas lebih powerful dibandingkan dengan anggota DPR. Sebab, dalam sistem parlementer ini, seorang menteri juga merangkap jabatan sebagai anggota DPR. Menteri dipilih oleh seorang perdana menteri dari anggota DPR yang terpilih. Artinya, untuk menjadi menteri, pertama kali seseorang harus dapat menguasai kursi parlemen. Ia harus didukung oleh suara rakyat, yang biasanya melalui pemilihan langsung.

Akan halnya dengan sistem presidensial sebagaimana di Indonesia, menteri tidak melalui proses seleksi pemilihan langsung oleh rakyat. Dalam sistem presidensial ini, menteri dipilih oleh presiden, yang bisa jadi sebelumnya sudah terpilih menjadi anggota DPR atau bisa juga ‘hanya’ dari rakyat biasa. Karena itu, dalam sistem presidensial, seorang anggota DPR akan merasa lebih powerful dibanding seorang menteri. Ia bahkan merasa memiliki posisi seimbang dengan presiden karena sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Sebagaimana presiden, anggota DPR juga menganggap dirinya bertanggung-jawab langsung ke rakyat. Dalam sistem presidensial, menteri hanya bertanggung-jawab ke presiden.

Pertanyaan lanjutannya, apakah sistem demokrasi yang dianut Indonesia itu telah tepat? Pertanyaan itu tentu sulit dijawab. Sebab, proses demokrasi adalah proses politik yang panjang. Namun, Ziegenhain (2015) menganggap bahwa proses demokrasi Indonesia bisa dibilang lebih baik dibandingkan dengan Thailand dan Philipina. Thailand sampai sekarang sistem demokrasinya dianggap tidak legitimate karena konstitusinya dihasilkan oleh pemerintahan militer. Sementara itu, Philipina menuju sistem demokrasi yang tidak berujung dan tidak berpangkal. Banyak warga negaranya yang akhirnya meninggalkan negeri ini mencari peruntungan di negara lain, seperti Selandia Baru, karena suramnya masa depan negeri ini.

Ziegenhain (2015) melihat sistem demokrasi Indonesia lebih baik dari dua negara lainnya itu dari tiga mekanisme: akuntabilitas pemilihan (electoral accountability), akuntabilitas vertikal (vertical accountability), dan akuntabilitas horisontal (horizontal accountability). Dengan mekanisme akuntabilitas pemilihan langsung presiden/kepala daerah dan anggota DPR/DPRD saat ini, Indonesia berhasil menghindari kondisi yang dapat menciptakan kembalinya “diktator yang honest”. Sebab, salah satu ancaman demokrasi adalah munculnya pemilih buta yang begitu mengagum-agumkan pemimpin yang polos dan jujur. Padahal, tanpa adanya akuntabilitas horisontal berupa pengawasan yang berimbang dari anggota dewan, presiden yang awalnya berasal dari pejuang demokrasi atau rakyat biasa bisa menjadi diktator yang mengancam sistem demokrasi.

Kita bisa melihat, sebagai contoh, apa saja yang dilakukan oleh Jokowi, (awalnya) sering dianggap benar. Sebagai pemimpin yang berasal dari rakyat biasa, pemilihnya begitu mengagumkan dan memujanya. Begitu ada orang yang mengkritik Jokowi, maka ia akan langsung dibantai oleh media konvensional ataupun media sosial. Hal ini jika dibiarkan akan memungkinkan Indonesia menuju diktator baru. 

Syukurnya, immunitas anggota DPR dalam mengawasi presiden, sebagai salah satu mekanisme akuntabilitas horisontal, begitu kuat. Karena itu, kemungkinan Indonesia menciptakan diktator baru adalah rendah. Dengan mekanisme akuntabilitas horisontal saat ini, anggota DPR dapat menyuarakan pendapatnya yang dilindungi oleh perundangan yang ada. Mau tidak mau, akhirnya presiden harus mampu berkolaborasi dengan anggota DPR. Jika presiden ingin berhasil menjalankan pemerintahannya, ia harus mau berkompromi dengan anggota DPR. Dengan demikian, setiap keputusan yang dihasilkan adalah hasil konsensus dengan berbagai pihak.

Memang, pengambilan keputusan berbasis konsensus mengakibatkan tidak jelasnya siapa yang harus bertanggung-jawab jika suatu program gagal atau tidak berjalan. Namun, kepemimpinan berbasis konsensus ini akan memungkinkan kestabilan demokrasi di Indonesia dan menghindarkan munculnya diktator baru yang dapat mengancam demokrasi. Paling tidak, walaupun demokrasi Indonesia tidak semakin maju dan stagnan, Indonesia masih bisa mempertahankan sistem demokrasinya (Ziegenhain, 2015).

Dari ketiga mekanisme akuntabilitas itu, yang perlu diperbaiki jika Indonesia ingin meningkatkan demokrasinya utamanya adalah akuntabilitas vertikal (Ziegenhain, 2015). Sebab, dengan sistem demokrasi, proses desentralisasi tidak akan terhindarkan. Untuk menjaga agar “raja-raja kecil” di daerah tidak mengancam demokrasi, maka akuntabilitas vertikal harus ditegakkan. Peran berbagai kementerian dan lembaga di tingkat pusat, walaupun paradoksial -- seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional -- dalam menjaga akuntabilitas vertikal sangat penting.

Sialnya, alih-alih berkoordinasi, berbagai kementerian dan lembaga tingkat pusat malah bekerja tanpa koordinasi.  Mereka menerbitkan regulasi yang saling tumpeng-tindih dan malah membingungkan pemerintahan di daerah.

Berbeda dengan negara lain, ternyata untuk menjaga demokrasi di Indonesia, kita tidak hanya perlu memperhatikan peran dari para politisi. Regulasi di Indonesia tidak hanya dihasilkan oleh perdebatan para politisi, tetapi juga birokrasi (Crouch, 2010). Lemahnya koordinasi instansi tingkat pusat adalah karena lemahnya koordinasi para birokrat di tingkat pusat.

Mereka para birokrat tingkat pusat terlalu silau dengan kepentingannya masing-masing sehingga lupa menjaga akuntabilitas vertikal. Penegakan akuntabilitas vertikal, berupa pengawasan kepada lembaga di tingkat daerah, bukan hanya milik Kementerian Dalam Negeri, tetapi juga berbagai kementerian lain di tingkat pusat. Karena itu, menjadi tantangan bagi kita semua untuk memperbaiki akuntabilitas vertikal tersebut.