Monday 20 October 2014

Nama di Visa Berbeda dengan di Paspor

Ada pengalaman menarik di sini, yaitu ketika ada salah satu mahasiswa Indonesia tertahan lama di bandara Auckland hanya karena nama yang berbeda. Rupanya, yang bersangkutan telah mengubah namanya dari dua kata menjadi tiga kata di paspornya. Bagi yang pernah naik haji atau akan ke Saudi Arabia, pasti tahu adanya persyaratan khusus ini, di mana setiap orang harus mempunyai tiga kata pada namanya. Karena itu, biasanya kita mengubah nama di paspor menjadi tiga kata, walaupun awalnya di akte hanya ada satu atau dua kata terkait nama kita.

Masalahnya, ketika Anda mendaftar visa ke New Zealand, nama mana yang akan digunakan? Nama yang tiga kata itu atau nama sebelumnya? Nach, ini yang terjadi. Karena mahasiswa tadi menggunakan dua kata pada nama di visanya yang berbeda di paspornya, akhirnya proses pemeriksaan di bandaran Auckland menjadi lama bagi dirinya (menurut info dari salah satu anggota rombongan). Ini akibatnya tidak hanya merepotkan dirinya, tetapi juga rombongannya.

Akhirnya, rombongannya menjadi terganggu ketika tiba di kediaman yang dituju karena kebetulan menggunakan shuttle bus yang sama. Karena itu, Anda harus pastikan betul ketika mendaftar visa NZ nama Anda sudah menggunakan nama yang terakhir diubah, yaitu tiga kata itu. Jangan menggunakan nama sebelumnya.

Namun, dalam pandangan saya, kemungkinan lamanya proses tersebut bisa terjadi bukan sekedar karena nama yang berbeda, tetapi juga histori pernah ke mana saja negara yang dituju oleh pemegang paspor. Atau, si mahasiswa tidak bisa menjawab dengan jelas pertanyaan petugas imigrasi ketika dintrograsi.

Beberapa bulan sebelumnya, pernah ada seorang warga negara Indonesia yang ditolak masuk tanpa penjelasan. Jika tidak segera pulang membeli tiket pada kesempatan pertama, ia harus menginap di ruang penahanan kantor polisi (artinya ia akan mempunyai criminal record pernah ditahan di New Zealand). Untungnya, ada warga Indonesia yang berbaik hati segera membelikan tiket kembali dan warga negara Indonesia itu langsung kembali lagi ke Indonesia, tanpa lewat sama sekali dari kaca pemisah di bandara. Teman yang menjemput hanya bisa berkomunikasi lewat kaca.

Masing-masing lembaga pemberi beasiswa yang sedang gencar mendanai beasiswa ke luar negeri, seperti LPDP, perlu mengontak Kedubes New Zealand di Indonesia terkait hal ini. Kedubes bisa dimintakan bantuan untuk memberikan briefing pengurusan visa dan segala macamnya terkait ketibaan peserta, sebagaimana penerima NZAS. Ini akan sangat bermanfaat.

Paspor Biru atau Hijau?

Pertanyaan ini selalu muncul dari pegawai negeri yang akan kuliah di luar negeri. Ada tiga alasan kenapa Anda menggunakan paspor biru di masa lalu. Pertama, karena adanya fasilitas khusus. Kedua, karena untuk syarat pencairan dana, kalau sumber pengeluaran anggarannya dari pos APBN/D. Ketiga, untuk keperluan penyesuaian ijazah di Kemdikbud ketika pulang nanti.

Namun, tidak semua hal itu sekarang ini relevan. Alasan pertama hanya berlaku kalau Anda pergi ke negara Asean. Ketika tiba di sana biasanya ada jalur khusus untuk paspor dinas/biru yang hampir disamakan dengan paspor diplomatik/merah tua ketika melalui jalur pemeriksaan di imigrasi mereka. Kenapa? Agak rumit menjelaskannya. Yang jelas ini untuk mempercepat karena tidak semua paspor dinas ter-release datanya ke komunitas imigrasi internasional untuk kepentingan tertentu.

Kalau alasan pertama masih dikaitkan dengan kemudahan layanan ketika di pos pengecekan imigrasi Indonesia (keberangkatan/kepulangan), itu pun saat ini sudah tidak tepat lagi. Soalnya, walaupun jalur khusus itu masih ada, layanan kepada pemilik paspor biasa dan dinas sama saja saat ini. Soalnya, negara kita semakin demokratis dan semua orang sama perlakuannya di depan hokum. Malah, saya lihat, kita bisa lebih cepat prosesnya jika melalui jalur paspor biasa karena jalurnya untuk pemeriksaannya sudah banyak, khususnya di Bandara Soekarno-Hatta.

Alasan kedua masih bisa tepat jika pengelola keuangannya menerapkan kewajiban paspor biru. Sebab, pada dasarnya, walaupun Anda menggunakan paspor hijau dan itu ditugaskan negara secara formal, maka negara wajib biaya perjalanan Anda. Sama dengan olah-ragawan yang bertanding ke luar negeri atas nama negara. Mereka menggunakan paspor hijau dan bisa dibiayai negara. Begitu juga delegasi resmi negara di mana ada orang-orang swasta ikut di dalamnya.

Setahu saya, yang paling ketat harus menggunakan paspor dinas adalah dari beasiswa Bappenas (Spirit). Kalau Kemdikbud, saya lihat tidak ketat. Sepanjang nanti Anda bisa menyampaikan visum surat perjalanan dinas, maka biaya terkait beasiswa Anda akan dibayar. Saya belum memantau yang dari Kemkeu (LDP).

Alasan ketiga dulu sangat relevan. Anda tidak akan dilayani penyesuaian ijazah luar negerinya kalau tidak menggunakan paspor biru. Bahkan, di paspor Anda akan dicek apakah ada exit permit dari Kemlu. Biarpun Anda orang swasta, dulu syarat ini berlaku sepanjang Anda butuh penyesuaian di Kemdikbud.

Belakangan syarat ini diperlunak. Yang disyaratkan adalah adanya surat ijin Setneg. Jadi, bagi yang belum memiliki surat ijin Setneg, darimana pun sumber dana kuliah Anda, dan Anda nanti membutuhkan penyesuaian ijazah untuk karir Anda selanjutnya, uruslah segera kalau belum memilikinya.

Khusus bagi yang menggunakan paspor dinas, kelemahan utamanya adalah birokrasi yang rumit dan exit permit Anda hanya berlaku sekali. Ketika kembali ke Indonesia untuk riset lapangan atau liburan dan akan kembali lagi ke luar negeri untuk kembali studi, maka Anda harus menyiapkan waktu untuk mengurus exit permit baru (secara manual) ke Kemlu setelah mendapat pengantar dari Kedubes Indonesia di New Zealand (secara elektronik).

Visitor atau Working Visa?

Bagi mahasiswa yang mau datang ke New Zealand, sering kali menanyakan untuk suami atau istri yang akan diikutkan bersama sebaiknya menggunakan visa visitor atau visa bekerja? Ada satu case, di mana mahasiswa master ini dibiayai dari NZAID, tetapi karena anaknya masih kecil, ia perkirakan istrinya tidak mungkin bekerja ketika di sini. Karena itu, ia mengajukan visitor visa. Ini juga agar ia cukup membayar biaya yang murah. Satu aplikasi visa untuk istri dan kedua anaknya.

Ternyata, ia mendapat informasi dari petugas imigrasi New Zealand di Indonesia bahwa dengan kondisi membawa 2 anak dan mengajukan visitor visa si istri harus mempunyai rekening bank paling tidak Rp 288 juta. Jika mengajukan visa kerja, ia cukup mempunyai rekening $NZ 4,200.

Loginya begini. Kalau Anda istri/suami Anda mengajukan visa kerja, maka istri/suami Anda diasumsikan akan dapat mencari nafkah tambahan di sini. Karena itu, imigrasi New Zealand hanya mensyaratkan jaminan adanya dana di rekening bank Anda $4,200 untuk istri/suami Anda.

Nach, mudah-mudahan bagi calon mahasiswa yang masih bingung memilih visa untuk istri/suaminya, pengalaman ini perlu menjadi pegangan.

Sunday 19 October 2014

Mengganti Kaca Mata dengan Asuransi

Saya pernah menggunakan fasilitas asuransi untuk membeli kaca mata di sini. Rupanya, kita setiap tahunnya dapat mengganti kaca mata dengan dana maksimal $300 dari penggantian asuransi. Sebelumnya, saya sempat membeli kaca mata baca di toko pharmacy di sini seharga $20. Rupanya, kaca mata itu tidak cocok dengan mata saya. Soalnya, mata kiri dan kanan saya tidak sama plus-minusnya. Istilahnya, saya harus membeli kaca mata berbasis resep.

Untuk mengganti kaca mata yang langsung dibayar oleh asuransi, pertama, saya registrasi melalui link ini http://www.sscorporate.co.nz/Insurance/SSafe/SSafe_claims.asp. Esok paginya saya sudah mendapat telepon dari salah satu toko http://www.specsavers.com/ di Glanfield Mall.

Tadinya, sebelum tiba di toko, petugasnya menanyakan lewat telepon dalam 2 tahun ini apakah saya pernah memeriksakan mata. Saya bilang, di sini belum, tetapi kalau di Indonesia pernah. Katanya, silahkan membawa berkas yang lama. Kalau perlu pemeriksaan, saya akan di-charge $60. Waduch, repot juga, kata hati saya. Harus menambah dana lagi $60.

Ternyata, di toko kaca mata itu, setelah selesai pemeriksaan, total semua biaya saya dianggap sudah cukup di-cover oleh asuransi, termasuk biaya pemeriksaan itu. Walaupun, memang, si petugas sempat menawarkan bermacam-macam tipe kaca mata agar saya mau membayar di atas budget asuransi. Dia tawarkan saya membeli dua pasang kaca mata. Jaga-jaga kalau hilang satu, katanya. Saya bilang, saya hanya membutuhkan satu kaca mata baca. Untuk itu, saya memilih kaca mata dari bahan Titanium. Harganya lumayan tinggi, sekitar $450 (termasuk kacanya). Syukurnya, saat itu sedang ada diskon 50%.

Setelah selesai, pas diukur lagi posisi mata saya, si petugas menawarkan lagi, karena frame (ternyata asuransi kita menanggung sampai frame) yang saya pilih bagian bawahnya pakai tali (supaya tidak cepat berkarat karena keringat) ada risiko mudah pecah, dia tawarkan apakah saya mau termasuk anti pecahnya. Harganya sekitar $100 lebih dan itu lewat budget saya yang dari asuransi. Saya tetap berpatokan ke budget.

Akhirnya, setelah semua proses, saya katanya akan diinfokan dalam waktu dua minggu. Saya pun tidak perlu membayar dulu. Semua sudah dihandle oleh asuransi (walaupun saya masih was-was apakah benar frame itu ditanggung juga oleh asuransinya. Jangan-jangan nanti ketika mengambil kaca mata dua minggu lagi di-charge harga framenya, seperti di Indonesia). Ternyata semua berjalan lancar. Tidak sampai satu minggu saya sudah ditelepon lagi untuk mengambil kaca mata dan mengepaskan posisinya di telinga saya.

"Missing in North Shore"

http://www.nzherald.co.nz/nz/news/article.cfm?c_id=1&objectid=11262255&ref=nzh_fbpage

Ini mungkin judul yang lebih tepat. Kejadian hilangnya seorang ibu rumah tangga yang umurnya 50-an sudah sedikit menjawab pertanyaan saya selama ini, yaitu kenapa ketika berpapasan dengan orang-orang Asia di North Shore, mereka cenderung menghindar. Mereka yang umumnya berasal dari Asia jarang mau menegor kita ketika berpapasan. Mereka cenderung menghindar.

Tadinya, saya menduga sikap ini lebih banyak karena mereka berasal dari negara konflik, seperti Filipina, atau Negara tertutup seperti Cina. Jadi, mereka cenderung curiga dengan orang asing. Akibatnya, mereka terkesan tidak ramah.

Rupanya, bukan karena itu penyebab utamanya. Bisa jadi kejadian seperti inilah penyebabnya. Kejadian seperti ini rupanya sudah pernah terjadi juga di North Shore. Maklum saja, pulang jam 7 saja sudah terasa sunyi sekali di jalan. Saya malah pernah cuma sendirian di bis dari Stasiun Akaronga ke rumah saya. Bayangkan, kalau kita harus jalan dari halte bus ke rumah kita yang cukup jauh seperti ibu yang hilang ini.

Mungkin ini salah satu sebab yang membentuk orang Asia di North Shore cenderung menghindar ketika berpapasan dengan orang lain.

Mendidik Pejabat Publik

Tantangan terberat mendidik pejabat publik di Indonesia adalah mengakui adanya masalah. Biasanya, ketika seorang pejabat menghadapi kondisi terbukanya informasi kebobrokan di organisasinya, langkah pertama adalah menghindari untuk mengakui adanya masalah itu (avoidance). Karena itu, ketika saya menjadi adviser di beberapa instansi pemerintah di bidang egovernment, langkah terberat yang sering saya lakukan adalah adanya pengakuan (retreat) atau mendefinisikan masalah. Masalah tersebut biasanya dirumuskan secara bersama dengan pejabat puncak dan pelaku kunci. Dalam riset, hal ini lebih dikenal sebagai riset secara partisipatif.

Mengapa pejabat publik cenderung menghindar mengakui adanya masalah? Generasi pejabat publik di jenjang puncak saat ini kebanyakan adalah hasil produk sistem Orde Baru, tidak peduli mereka dari akademisi atau murni birokrat. Di zaman Orde Baru, kita mengenal adanya Kodak Pos 5000 atau Opstib. Kalau ada keluhan atau pengaduan yang masuk ke Kotak Pos 5000, Anda tahu apa yang dilakukan dulu? Menelusuri siapa orang yang melaporkan itu dan bukannya fokus merumuskan akar masalah yang dilaporkan itu.

Jadi, tidak aneh jika pejabat sekelas Dirjen, seperti permasalahan pencairan beasiswa Dikti tempo hari, akan merespon seperti itu. Ini adalah soal produk sistem. Hanya saja, ada kemajuan saat ini. Bukan berarti laporan keluhan seperti pencairan beasiswas itu tidak ditindaklanjuti. Saya yakin pasti akan ditindaklanjuti. Hanya saja para pejabat kita itu sering tidak mau kehilangan muka ketika hal seperti ini mengemuka.

Apa yang bisa kita lakukan? Menurut saya, kita harusnya lebih dini, sering, dan berani menyampaikan keluhan agar para pejabat atau manajer instansi public terlatih merespon dan menyelesaikan secara tuntas setiap keluhan, alih-alih menghindar. Mendidik pejabat adalah dimulai dari kita sendiri, para working class, terdidik ataupun tidak, yang saya lihat masih menjadi tantangan ke depan. Baiknya, kita pun harus sering memberikan keluhan ke pejabat agar mereka semakin terlatih menangani masalah di organisasinya.

Tukang Tipu di New Zealand

Anda bilang tidak ada tukang tipu (scammer) di New Zealand? Well, jangan terlalu percaya dulu. Di sini banyak sekali aturan dibuat. Tentu aturan ini dibuat karena banyaknya kriminalitas di masa lalu. Salah satu hal yang Anda perlu berhati-hati adalah penipuan pekerjaan atau juga penipuan ke pekerja. Dari yang saya baca di koran sini, banyak yang sudah terkuras uangnya akibat tukang tipu.

Saya pernah berkomunikasi langsung dengan mereka. Kebetulan, saya menerima email penawaran kerja. Padahal, saya tidak merasa melamar pekerjaan ini. Sebenarnya juga, kalau punya email gmail, Anda akan menerima pemberitahuan adanya risiko tersebut. Sayangnya, gmail hanya menginformasikan bahwa email sejenis dikirim ke banyak orang. Gmail tidak menginformasikan email itu scam atau tidak. Hanya sekedar warning.

Iseng-iseng, saya mereply email tadi. Kemudian, saya mendapat jawaban. Jawabannya juga sangat meyakinkan. Bahkan, mereka menginformasikan websitenya. Ini websitenya www.kdl-goods.com dan masih hidup sampai sekarang.

Kemudian, saya trace di mana website itu di-hosting. Hmm, ternyata di Colombia. Padahal, perusahaan ini mengaku berbasis di US. Selanjutnya, saya dihubungi per telepon. Syukurnya, ketika ketika menerima telepon di HP, di sini asal negara, kalau teleponnya dari luar negeri, akan tampak dengan jelas. Nomornya ternyata berasal dari Colombia. Saya jawab sedapatnya dan saya akhirnya mendapat kontrak lewat email.

Karena saya curiga, akhirnya saya isi kontrak tersebut, kemudian ketika di isian kolom rekening bank, saya tidak menginformasikan rekening saya, tetapi istri saya. Kemudian, saya kirim ke mereka kontrak tersebut. Belakangan, saya mendapat pertanyaan dari mereka, siapakah nama di rekening tersebut? Saya bilang itu rekening istri saya. Ech, mereka ternyata tidak mengontak lagi.

Penasaran lagi, saya kontak otoritasi penipuan semacam ini di sini. Setelah satu hari, mereka langsung menjawabnya bahwa benar itu adalah tukang tipu. Itu Scammer dari Nigeria, kata mereka. "Lach, kalau tukang tipu, kenapa Anda tidak cantumkan daftar blacklist di website Anda?" tanya saya lagi. Negaranya pun Anda salah menyimpulkan, kata hati saya. Otoritas ini berargumentasi bermacam-macam. Mereka katanya hanya dapat memberi warning secara umum.

Jadi, berhati-hatilah, tidak hanya di Indonesia banyak tukang tipu. Di sini juga ada tukang tipunya.