Tuesday 28 October 2014

Kabinet Kerja atau Kabinet Berintegritas?

Ketika mengumumkan anggota kabinetnya, Presiden Jokowi memberikan nama kabinetnya sebagai "kabinet kerja". Saya sempat bertanya, mengapa Jokowi tidak menggunakan kata "berkinerja"? Saya yakin orang-orang di sekitarnya paham perbedaan dua kata itu. Kalau hanya kerja, itu berarti hanya berproses, sedangkan berkinerja itu benar-benar menekankan pada hasil. Kesannya, Jokowi tidak terlalu mementingkan hasil. Karena itu, ia tidak menggunakan kata berkinerja.

Bisa jadi, itu pilihan yang diambil Jokowi melihat situasi politik saat ini. Paling tidak, pada pemerintahannya saat ini, ia merasa hanya bisa lebih banyak fokus kepada proses. Ia tidak terlalu menekankan target muluk-muluk, di mana kabinetnya bisa menghasilkan sesuatu yang besar. Baginya, bekerja saja dahulu sudah cukup baik. Menggunakan kata kabinet kerja dan memperhatikan tekanan politik yang akan semakin berat, dia menekankan kepada anggota kabinetnya agar tidak terlalu memusingkan komentar dari luar, terutama para anggota parlemen. Yang utama adalah seluruh anggota kabinetnya bekerja terus-menerus.

Dengan demikian, masyarakat juga sudah dijejali kesadaran dari awal bahwa ia tidak menjanjikan banyak hal. Namun, ia percaya bahwa dengan terus bekerja secara berkualitas, maka secara tidak langsung pemerintahannya akan menghasilkan sesuatu yang besar. Ini tentu pilihan diksi yang sangat tepat.

Kerja atau Integritas?

Namun, saya melihat apa yang ingin dicapai oleh Jokowi dengan pemilihan kata "kabinet kerja" tidaklah merepresentasikan proses yang telah dilaluinya dalam pemilihan anggota kabinet. Bagi saya, kabinet ini lebih tepat disebut "kabinet berintegritas". Kenapa demikian? Karena proses pemilihan anggota kabinet Jokowi lebih mementingkan integritas para calon. Lihatlah, di mana Jokowi meminta pendapat terkait histori dan potensi permasalahan anggota kabinetnya ke KPK dan PPATK.

Tentu saja, sebelum ia menyampaikan list calon ke KPK dan PPATK, pertama kali ia melihat kompetensi calon. Namun, yang paling menentukan pada akhirnya, baginya, adalah integritas calon. Soalnya, tanpa calon yang berintegritas, bisa jadi pemerintahannya akan terganggu. Ia akan direpotkan dengan bongkar pasang anggota kabinet dalam lima tahun ke depan.

Jokowi mementingkan integritas di atas kompetensi, dalam pandangan saya, karena ia tidak ingin mengulangi kesalahan pemerintahan sebelumnya. Pada pemerintahan sebelumnya, banyak orang-orang yang kompeten. Sayangnya, karena kompromi dengan partai politik, integritas menjadi dinomorduakan. Akhirnya, seperti kita lihat, pemerintahan yang lalu mestinya bisa menghasilkan hal-hal yang besar, tetapi terseok-seok dengan berbagai skandal.

Ketika mengambil pilihan integritas di atas kompetensi, tentu saja Jokowi akan mendapat protes dari banyak pihak. Lihat saja contoh di mana akademisi ITB mengeluhkan terpilihnya seorang menteri yang, katanya, tidak paham prinsip-prinsip kebijakan perikanan dan kelautan, dengan bahasa-bahasa akademik yang canggih yang digunakannya.

Kemudian, Jokowi lebih mengutamakan orang-orang yang berpengalaman di bidang administrasi dan keuangan daripada substansi teknis. Banyak kementerian yang kini dipimpin oleh mereka yang handal dalam pengelolaan administrasi dan keuangan. Lihat contoh Kementerian Perhubungan yang dipimpin oleh orang keuangan dan Kementerian ESDM yang dipimpin oleh akuntan. Jokowi lebih mementingkan aspek manajerial seorang calon daripada aspek substansinya.

Pilihan ini, lagi-lagi akan mengecewakan banyak pihak, terutama para "tukang insinyur" yang paham substansi di bidangnya. Pos-pos yang biasanya diisi oleh alumni ITB, sebagai contoh, malah diisi oleh orang-orang non-ITB. Alumni ITB malah ditugasi mengisi pos kementerian pariwisata.

Bagi saya, pilihan itu tidak terlepas dari latar belakang Jokowi. Dengan latar belakang kemampuan manajerial yang handal, tentu Jokowi juga akan memilih manajer-manajer yang handal di kabinetnya. Jokowi tidak terlalu mementingkan penguasaan anggota kabinetnya terhadap aspek substansi. Baginya, aspek substansi itu akan ditangani oleh staf di bawah anggota kabinet.

Pengendalian pada Lapis Bawah

Model kabinet yang dipilih oleh Jokowi benar-benar mencontek habis konsep manajemen perusahaan. Ia percaya bahwa jika pemerintahan dipimpin oleh para manajer yang handal, maka kabinetnya akan menghasilkan sesuatu yang membanggakan. Apakah benar demikian?

Asumsi Jokowi akan tepat jika ia bisa mengelola dengan baik sampai dengan para pejabat publik di lapisan bawah. Bahkan, sampai dengan level pelaksana. Pemerintahan saat ini, menurut saya, sudah mencapai suatu langkah besar dari segi konseptual dan simbolik. Tantangannya adalah tahap implementasi, yaitu bagaimana mengelola para direktur jenderal, direktur, dan bahkan pejabat di level bawahnya.

Dengan model kepemimpinan seperti Jokowi ini, maka para pejabat di level bawah akan lebih ditekankan untuk menyusun target yang terukur. Mereka mau tidak mau akan banyak berbicara hal-hal detail. Jika disinkronisasikan dengan tepat, mereka bisa diarahkan untuk mencapai suatu fokus bersama daripada fokus individual di masing-masing struktur.

Kita akan melihat nantinya tahap implementasi ini akan cukup berat bagi Jokowi. Sebagai contoh, lihatlah ketika Jokowi menyuruh anggota kabinet yang berasal dari professional untuk berlari-lari. Ia dapat melakukannya dengan baik, tetapi terkesan risih memerintahkan itu untuk anggota kabinet yang berasal dari birokrasi militer. Ketika anggota kabinet yang berlatar belakang dari militer hanya berjalan saja, dan juga anak dari presiden yang lalu, Jokowi agak sungkan menegurnya.

Kita nantikan gebrakan dari Jokowi berikutnya di tataran bawah ini.

Monday 20 October 2014

New Zealand Slang!

Do you want to know New Zealand's slang, bro?

Just read this, bro!

http://www.brenontheroad.com/travellers-guide-new-zealand-slang/

Bersepeda ke Kampus




Minggu lalu saya mengikuti training yang diorganisasikan oleh Auckland Transport. Saya mengambil kelas expert karena lebih dimaksudkan untuk improvement dan safety. Di training ini saya juga mendapat teori menggunakan gear yang benar.

Hal penting yang menjadi catatan saya adalah, Anda akan didenda $50 jika Anda bersepeda, tetapi:
- Tidak menggunakan helm;
- Salah satu rem bermasalah; atau
- Tidak menggunakan lampu ketika bersepeda di malam hari.


Kedua, ternyata ada teknik menggunakan helm sepeda yang benar. Saya pikir selama ini menggunakan helm tidak ada tekniknya. Asal dipakai saja.

Ketiga, untuk kondisi jalan di Auckland, ternyata kita cukup memainkan gear belakang pada posisi 1 atau 2 ketika menanjak, dan 6 atau 9 (tergantung jumlah gear) kalau menurun. Gear depan cukup diset di posisi 2 (tengah). Jika hanya perlu mengubah posisi gear depan ke posisi 3 atau 1 dalam kondisi ekstrim.

Aturan menggunakan aba-aba ketika berbelok ke kiri atau kanan dengan menggunakan tangan pada dasarnya sama dengan di Indonesia.

Ranking Departemen atau Universitas?

Sebelum saat ini kuliah di AUT, tempo hari sebenarnya saya juga mendapat acceptance letter dari sebuah universitas di New Zealand. Ranking universitas tersebut sebenarnya lebih bagus dari AUT. Hanya saja, ketika saya cek kembali untuk bidang saya, ternyata terjadi trend penurunan ranking pada universitas ini. Di sisi lain, rangking AUT pada bidang saya malah terus meningkat untuk subjek accounting and finance. Karena itu, ketika saya mendaftar ke aplikasi beasiswa NZAS, saya letakkan AUT di pilihan pertama.

Rupanya tahun 2014 ini accounting dan finance di AUT rankingnya meningkat lagi dan masuk ke kelompok 51 - 100 dunia terbaik di dunia, dibanding tahun sebelumnya yang masih di kelompok 100 - 150. Ranking ini saya lihat cukup menunjukkan kualitas suatu departemen/fakultas selama studi di AUT.

Saya suka menghadiri presentasi proposal riset dari departemen lain di AUT. Sepertinya, memang ranking ini cukup merepresentasikan kenyataan jika membanding kualitas antar departemen di AUT.

Apa hikmahnya dari ranking ini? Ini bisa kita lihat secara positif dan negatif. Ini bisa menjadi peluang besar ke mereka yang di Indonesia ketika ingin mendaftar beasiswa. Tentunya, beasiswa akan lebih banyak diberikan oleh departemen yang ranking departemennya masih rendah. Soalnya, mereka membutuhkan periset baru. Namun, mereka harus bisa bekerja secara mandiri.

Kalau dilihat secara negatif, maka mereka yang sangat membutuhkan pendampingan ketika riset agar tidak memilih departemen yang rankingnya masih rendah karena mereka harus benar-benar mandiri ketika riset.

Populernya Ubi Jalar di New Zealand

Di sini, ubi jalar dikenal dengan nama Kumara. Beberapa bulan di sini, saya sering bertanya-tanya, kenapa supermarket memberikan space yang lumayan luas untuk menjaja ubi jalar? Yang bisa menandingi penyediaan space yang luas ini, kalau saya lihat, hanyalah kentang. Kalau kentang diberikan space yang luas, tentu wajar saja karena budaya western sering memakan kentang.

Di negera kita, ubi jalar sering dianggap sebagai makanan kelas bawah, di masa lalu. Syukurnya, belakangan ini kantor-kantor pemerintah sudah mulai membiasakan diri menyediakan ubi jalar untuk hidangan coffee break karena aman untuk mencegah kolesterol buruk. Tapi, kenapa di New Zealand ubi jalar juga populer?

Rupanya, saya baru tahu dari teman istri yang sama-sama bekerja di rumah sakit. Ia kebetulan berasal dari Cina. Katanya, ubi jalar baik untuk mengobati masuk angin. Karenanya, banyak pelanggannya di sini.

Ini akhirnya menjawab pertanyaan saya. Soalnya, di sini kita sering diterpa angin dan akhirnya sering masuk angin. Kalau di Indonesia kita biasa menggunakan kayu putih atau minum tolak angin untuk mengatasi masuk angin, ternyata di sini kita cukup memakan ubi jalar dan itu efektif untuk membuang angin.

Ubi jalar mahal di sini? Ya, kalau Anda membelinya di supermarket. Namun, saya sering membeli ubi jalar dengan harga promosi di toko Asia yang per kantong dihargai sekitar $1.99. Memang, ukurannya kecil-kecil, tetapi tidak masalah karena malah mudah merebusnya.

"Orang pintar..., minum tolak..., ech makan ubi jalar...."

Bagaimana Kalau Melahirkan di New Zealand?


Saya pernah mendapat pertanyaan, apakah seorang istri yang kebetulan mahasiswi Dikti atau beasiswa lain yang non-NZAS ketika melahirkan di sini bisa mendapatkan fasilitas gratis di rumah sakit, seperti umumnya warga negara di sini?

Setelah saya cek, ternyata bisa, asalkan pasangannya/suaminya mempunyai working visa minimal 2 tahun. Soalnya, fasilitas untuk si suami ini sama dengan mahasiswa NZAS, yang fasilitas ini berlaku juga untuk pasangan dan keluarganya. Definisi pasangan (partner) di sini pun sangat luas, di mana bisa berarti pasangannya itu secara biologis berkelamin pria atau wanita.

Karena itu, jika dibalik logikanya, mahasiswa pria yang membawa istri, sebaiknya terlebih dahulu mengurus working visa minimal 2 tahun untuk istrinya agar ia (mahasiswa) dan anak-anaknya mempunyai hak sama ke fasilitas layanan kesehatan publik yang ada si sini.

Ini juga akan membantu, di mana jika tidak penting sekali, ia tidak perlu mengurus insurance lagi untuk keluarganya kalau sudah mempunyai pasangannya sudah mempunyai working visa. Khusus untuk kepentingan studi, mahasiswa di sini dipersyaratkan untuk memiliki asuransi.

Kalau Anda ingin dibiayai dari asuransi untuk melahirkan, saya lihat masih ada peluang itu. Yang saya lihat jelas tidak di-cover oleh asuransi adalah biaya aborsi dan KB saja. Artinya, melahirkan pun masih ada peluang dibiayai oleh asuransi di sini.

Jelasnya, lihat fasilitas ini di link ini:
http://www.health.govt.nz/new-zealand-health-system/publicly-funded-health-and-disability-services/pregnancy-services

Nama di Visa Berbeda dengan di Paspor

Ada pengalaman menarik di sini, yaitu ketika ada salah satu mahasiswa Indonesia tertahan lama di bandara Auckland hanya karena nama yang berbeda. Rupanya, yang bersangkutan telah mengubah namanya dari dua kata menjadi tiga kata di paspornya. Bagi yang pernah naik haji atau akan ke Saudi Arabia, pasti tahu adanya persyaratan khusus ini, di mana setiap orang harus mempunyai tiga kata pada namanya. Karena itu, biasanya kita mengubah nama di paspor menjadi tiga kata, walaupun awalnya di akte hanya ada satu atau dua kata terkait nama kita.

Masalahnya, ketika Anda mendaftar visa ke New Zealand, nama mana yang akan digunakan? Nama yang tiga kata itu atau nama sebelumnya? Nach, ini yang terjadi. Karena mahasiswa tadi menggunakan dua kata pada nama di visanya yang berbeda di paspornya, akhirnya proses pemeriksaan di bandaran Auckland menjadi lama bagi dirinya (menurut info dari salah satu anggota rombongan). Ini akibatnya tidak hanya merepotkan dirinya, tetapi juga rombongannya.

Akhirnya, rombongannya menjadi terganggu ketika tiba di kediaman yang dituju karena kebetulan menggunakan shuttle bus yang sama. Karena itu, Anda harus pastikan betul ketika mendaftar visa NZ nama Anda sudah menggunakan nama yang terakhir diubah, yaitu tiga kata itu. Jangan menggunakan nama sebelumnya.

Namun, dalam pandangan saya, kemungkinan lamanya proses tersebut bisa terjadi bukan sekedar karena nama yang berbeda, tetapi juga histori pernah ke mana saja negara yang dituju oleh pemegang paspor. Atau, si mahasiswa tidak bisa menjawab dengan jelas pertanyaan petugas imigrasi ketika dintrograsi.

Beberapa bulan sebelumnya, pernah ada seorang warga negara Indonesia yang ditolak masuk tanpa penjelasan. Jika tidak segera pulang membeli tiket pada kesempatan pertama, ia harus menginap di ruang penahanan kantor polisi (artinya ia akan mempunyai criminal record pernah ditahan di New Zealand). Untungnya, ada warga Indonesia yang berbaik hati segera membelikan tiket kembali dan warga negara Indonesia itu langsung kembali lagi ke Indonesia, tanpa lewat sama sekali dari kaca pemisah di bandara. Teman yang menjemput hanya bisa berkomunikasi lewat kaca.

Masing-masing lembaga pemberi beasiswa yang sedang gencar mendanai beasiswa ke luar negeri, seperti LPDP, perlu mengontak Kedubes New Zealand di Indonesia terkait hal ini. Kedubes bisa dimintakan bantuan untuk memberikan briefing pengurusan visa dan segala macamnya terkait ketibaan peserta, sebagaimana penerima NZAS. Ini akan sangat bermanfaat.