Kepolisian akhirnya buka-bukaan dengan keyataan pahit selama ini, yaitu soal bagaimana aparat kepolisian mengelola operasinya dan memperoleh dana. Karena dana yang terbatas, kepolisian telah menyatakan secara jujur dan terbuka bagaimana cara-cara lama digunakan untuk menangani kasus. Hal ini jarang sekali diperbincangkan secara terbuka.
Bagi aparat kepolisian, sangat lazim dikenal istilah sumber dana dari si parman atau superman, yang panjangnya adalah dana dari "partisipasi teman" atau "sumbangan pertemanan". Dana ini biasanya digunakan untuk menyelesaikan suatu kasus. Misalnya, mencari pencuri atau pembunuh. Aparat kepolisian membutuhkan biaya transportasi dan akomodasi untuk ini. Para komandan sering menganggap bahwa itu urusan masing-masing aparatnya untuk mencari dana tersebut.
Karena itu, aparat kepolisian sering mencari dana dari pengusaha, atau bahkan ke pengusaha yang memiliki usaha ilegal, seperti bisnis prostitusi atau perjudian. Malah, kadang untuk kepentingan operasi menangkap pencuri atau pembunuh tersebut, aparat kepolisian dengan bahasa yang diharapkan bisa dipahami sendiri sering meminta bantuan dana dari korban atau keluarga korban. Karena itulah, muncul joke kalau kita kehilangan ayam, kemudian melapor ke kepolisian, malah bisa kehilangan sapi.
Pada acara yang dihadiri lengkap para petinggi kepolisian, Presiden Jokowi menyatakan akan memberikan kenaikan dana 18%, atau sekitar Rp 8 triliun untuk menyelesaikan masalah klasik itu. Pertanyaannya, apakah itu cara tepat?
Tentu saja, bahwa permasalahan ketersediaan dana adalah permasalahan klasik dalam mengelola organisasi publik, termasuk aparat kepolisian. Namun, menaikkan anggaran 18% rasanya tidak dengan serta merta akan menaikkan kinerja kepolisian atau menuntaskan masalah yang ada. Sebab, Indonesia mempunyai lokasi geografis yang luas dan jumlah penduduk yang begitu besar. Karena itu, pemerintah mestinya mencari cara-cara yang lebih tepat untuk meningkatkan kinerja kepolisian.
Salah satunya adalah mongoptimalkan kembali konsep hankamrata. Kepolisian tidak akan bisa bekerja sendiri dalam memberantas tindak kriminal di masyarakat, apalagi dengan berkembangnya kejahatan berupa kelompok preman (organised crime) yang marak atau semakin dibiarkan di Indonesia. Saat ini, sebenarnya konsep hankamrata itu masih berjalan. Sebagai contoh, kita masih mempunyai keamanan RT dan RW. Bahkan, keamanan ini pun sering duplikasi. Di beberapa perumahan mewah pun marak keamanan per cluster. Masing-masing kelompok di Indonesia sebenarnya sudah mempunyai sistem keamanannya. Mereka membiayai sendiri operasi keamanan tersebut. Langkah pertama, mestinya kepolisian segera membangun sistem yang mengintegrasikan community policing agar bisa dioptimasi oleh kepolisian.
Cara sederhana yang bisa dilakukan kepolisian untuk mengintegrasikan berbagai sistem keamanan berbasis komunal itu adalah dengan menggunakan teknologi. Kepolisian mestinya menginvestasikan anggarannya untuk membangun lebih banyak sistem komunikasi dengan berbagai sistem keamanan komunal tersebut. Kemudian, bagi beberapa kelompok komunal yang belum memiliki CCTV, kepolisian perlu menyebar perangkat ini ke berbagai wilayah lebih banyak lagi. CCTV yang ada di kelompok komunal juga harus diintegrasikan ke sistem nasional di kepolisian. Dengan demikian, setiap kejahatan bisa sejak dini dipantau. Jika terjadi kejahatan, kepolisian pun bisa terbantu untuk menelusurinya dari berbagai perangkat tersebut.
Di Selandia Baru, konsep ini sudah lama dijalankan. Karena itu, untuk tahun anggaran 2014/15 anggaran kepolisian tidak dinaikkan. Malah, anggaran yang diterima tahun 2014/15 hampir sama dengan anggaran kepolisian tahun 2009/2010. Argumentasinya adalah sistem keamanan kepolisian telah dilengkapi peralatan canggih seperti smartphone dan tablet yang itu diperhitungkan sebagai efisiensi 500 ribu jam kerja dan sejumlah tertentu aparat kepolisian (NZ Herald, 15 Mei 2014). Itu pun terjadi pada anggaran Serious Fraud Office (semacam Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia), berkurang sekitar 2 juta dollar dari tahun sebelumnya.
Memang, dengan pola yang saat ini ada di Selandia Baru, kepolisian tampak tidak berada di setiap tempat. Masyarakat jarang melihat adanya aparat kepolisian di wilayahnya. Namun, setiap ada kejahatan, kepolisian dapat bertindak cepat. Mereka pun banyak berhasil menelusuri pelaku tindak kejahatan. Padahal, mereka tidak membawa alat senjata ketika beroperasi.
Selain integrasi dengan sistem keamanan komunal, kepolisian Indonesia juga perlu mengintegrasikan sistemnya dengan sistem lain yang terkait penanganan kecelakaan, kekerasan, kejahatan atau kriminal. Sebagai contoh, setiap kejahatan dengan tindak kekerasan tentu ada korban. Tentunya korban ini kadang masih bisa diselamatkan. Golden time itu sangat penting dalam penyelamatan korban. Karena itu, sistem kepolisian harus terintegrasi dengan sistem penanganan kecelakaan, seperti ambulans, rumah sakit, bahkan pemadam kebakaran.
Untuk menghindari konflik dengan aparat militer, aparat kepolisian juga harus mau bekerja sama dan mengoptimalkan kemampuan militer. Sebagaimana di negara maju, jika sudah masuk kondisi darurat, seperti kerusuhan massal dan penjarahan, saatnya kepolisian melibatkan aparat militer, semacam Garda Nasional di Amerika Serikat.
Kolaborasi itu penting agar kepolisian dan lembaga layanan publik lainnya yang ada di Indonesia tidak terperangkap dengan keterbatasan anggaran. Setiap lembaga publik harus bisa bekerja di tengah keterbatasan anggaran. Itulah yang menjadi keunikan tersendiri dalam mengelola lembaga publik.
Intinya adalah kenaikan anggaran tetap perlu, tetapi kepolisian harus mempunyai langkah stratejik dalam menggunakan anggaran tersebut. Jika tidak, maka itu akan menjadi permasalahan klasik lembaga publik.