Saturday 7 February 2015

New Zealand Waitangi Day dan Reformasi Sektor Publik di Indonesia


Tanggal 6 Februari adalah Hari Waitangi (Waitangi Day), di mana perjanjian antara Kerajaan Inggris dan kerajaan-kerajaan atau suku-suku di Aotearoa (New Zealand) ditandatangani sekitar 174 tahun yang lalu (6 Februari 1840) di sebuah daerah yang disebut Waitangi. Bisa dibilang, inilah hari jadinya Undang-Undang Dasar (UUD), sebuah konstitusi bernegara, yang hanya tiga paragraf, disahkan di New Zealand.

Anda bisa bayangkan, sebuah negara yang dikenal begitu majunya, ternyata hanya dibentuk dengan sebuah kontrak antara Kerajaan Inggris dengan sekitar 540 kepala suku di New Zealand. Kontrak ini bukannya tidak meninggalkan masalah, justru pada hari inilah terjadi perdebatan kembali tentang isi kontrak tersebut. Karena itu, pada hari inilah, orang-orang asli (Maori) memperdebatkan kembali hak-hak mereka yang mesti ditunaikan oleh para pendatang kulit putih (Pakeha) dan juga sebaliknya. 

Masing-masing pihak masih mempertanyakannya. Untuk menuntaskan ini, bahkan sampai dibuat peradilan tersendiri. Banyak kasus yang akhirnya bisa diselesaikan, dengan menunaikan secara cash settlement, permintaan maaf, atau cara lain.

Di tengah kelabilan fondasi bernegara, hebatnya, negara ini bisa maju terus. Pertumbuhan yang menakjubkan dan terkendali. Selalu terkenal sebagai negara yang termasuk "paling" bersih dari KKN, negara yang "paling" nyaman ditinggali, dan seterusnya.

Ketika mereka berhasil mereformasi negaranya sekitar tahun 1984 - 1990, di bawah Partai Buruh--mirip partai aliran sosialis kiri yang sekarang memimpin Indonesia--banyak tulisan akademik yang disusun. New Zealand selalu menjadi contoh keberhasilan reformasi di bawah teori New Public Management (NPM) setelahnya, termasuk misalnya transisi menuju sistem akrual yang kini diterapkan di Indonesia.

Beberapa negara berkembang yang masih dikungkung keterbelakangan seperti Indonesia pun mencoba-coba meniru perubahan radikal tersebut, yang biasa diusung dengan kata "reformasi". Agar reformasi berhasil, beberapa resep NPM kemudian dibuat oleh negara donor seperti WorldBank dan ADB; dan Indonesia mengikutinya dengan taat.

Beberapa hal telah mulai dilakukan di Indonesia. Beberapa hal berhasil, beberapa hal gagal. Sebuah tulisan sebenarnya telah mengingatkan agar negara berkembang jangan mencoba-coba mengadopsi program reformasi negara maju seperti New Zealand, tanpa melalui beberapa prasyarat utama (Schick, 1998). Perubahan dari sistem yang biasanya informal di negara berkembang seperti Indonesia menuju NPM selalu akan menjadi bumerang. Kini kegagalan itu sudah semakin tampak di depan mata.

Saya tidak akan menguraikan secara detail nasehat tersebut. Saya akan mengambil beberapa hal yang menarik dari segi keilmuan kita. Saya mencoba merefer ke beberapa tulisan yang pernah diargumentasikan oleh pendukung NPM di Indonesia.

Suatu argumen yang sering didebatkan: Kita korupsi karena gaji kita rendah atau gaji kita rendah karena kita korupsi? Beberapa pendukung ekonomi pasar, tentu akan berargumentasi ke hal kedua. Teori market selalu menyalahkan orangnya, bukan kelembagaannya. Itulah sebabnya NPM selalu dibilang berbasis institusional ketimbang manusianya. NPM adalah pemikiran neoliberalism yang diajarkan dan didoktrinkan terus sebagai pilihan yang paling tepat di negara berkembang oleh pendukungnya.

Padahal, Schick (1998) mengingatkan:
"In the case of civil service rules, this means that pay levels rise as the economy develops, the number of g[o]host positions declines, and public employees are given opportunities to acquire new skills and advance professionally. If these conditions are absent, learning will take place, but it will be pathological: how to beat the system, how to outmaneuver the controllers, how to get paid without really working, and so on."

Idealnya, pendapatan pegawai di sektor publik meningkat ketika perekonomian negara semakin baik, jumlah pegawai yang tidak jelas kerjanya menurun, dan para pegawai itu diberikan kesempatan untuk meningkatkan komptensinya. Itu idealnya. Masalahnya, ketidakidealan itu terjadi terus di Indonesia. 

Contoh yang nyata adalah masih banyaknya "gost employees" di pemerintahan Indonesia yang masih dipertahankan. Kita tidak berani melakukan perubahan radikal atas hal ini, dengan memberhentikan mereka atau merumahkan mereka. Akhirnya, yang terjadi adalah sebagaimana ditulis Schick (1998), kondisinya menjadi semakin patologis. Mereka para pegawai -- termasuk anggota polisi yang kita perdebatkan belakangan ini -- semakin cerdas, belajar bagaimana mengakali sistem, bagaimana mengakali para auditor, bagaimana mendapat remunerasi yang semakin besar tanpa benar-benar bekerja yang bermanfaat untuk masyarakat.

Kesalahan berikutnya yang kita bisa lihat adalah NPM mengajarkan kita untuk melakukan otonomi dan desentralisasi. Pemerintah daerah diberi hak mengatur sendiri urusannya. Instansi pemerintah diberi hak untuk mengatur sendiri sistem keuangannya. Padahal, Schick (1998) bilang, desentralisasi dan otonomi itu bisa diberikan jika saja kita telah melalui proses terintegrasi. Kita bisa mengendalikan sesuatu secara terintegrasi dulu, baru kemudian memberikan kesempatan organisasi di level bawah bekerja secara otonom dan terdesentralisasi. 

Bukan malah kebalikannya seperti saat ini, kita kini menghabiskan enerji membawa kembali semua komponen bangsa agar mau kembali ke konsep integratif, sebuah NKRI. Ini kata Schick (1998): "[T]hey must operate in integrated, centralized departments before being authorized to go it alone in autonomous agencies."

Kegagalan berikutnya adalah, kita salah meletakkan strategi pengendalian. Selama ini kita terlalu banyak menekankan pengendalian eksternal, dengan adanya lembaga badan pemeriksa eksternal seperti BPK dan lembaga independen pemberantasan korupsi, seperti KPK. Kita mestinya telah bergeser seperti yang ditulis Schick (1998): "[F]rom control of individual actions to control within a broad band, from reviewing specific actions to reviewing systems.

Saat ini, pegawai pemerintah sedang dituntut membuat SKP, membuat kinerja yang semakin individualis. Padahal, sebuah negara yang berhasil adalah mengelola kinerjanya bukan per individu, tetapi sebuah "block", sistem kolektif. Jika yang dikejar masih individu orang per orang, maka sampai kapan pun yang terjadi adalah akal-akalan sistem. "They will 'game' the system, and even cheat, to gain the maximum reward for the minimum effort," tulis Talbot (2010). Mereka akan merekayasa seolah-olah telah berkinerja, padahal tidak benar-benar berkinerja.

Karena itu, Schick (1998) kembali menulis, kalau negara berkembang seperti Indonesia akan maju sektor publiknya, seperti Singapura, Indonesia mestinya bergeser dari "external to internal controls" dan kemudian barulah pantas mencangkokkan program reform yang ada di negara maju seperti New Zealand ke Indonesia. Indonesia mesti menempatkan pengendalian terhadap kumpulan orang-orang, team (sebagai sebuah "block"), daripada orang-per orang. 

Jika kita masih dalam fase menumbuhkan ketakutan terhadap "external controls", maka sampai kapan pun Indonesia tidak akan maju. Tidak akan pernah sampai ke results-based budgeting yang selalu diagung-agungkan oleh pendukung reformasi!

Dipublikasi di Detik.com pada alamat 

http://news.detik.com/read/2015/02/09/205420/2828214/103/new-zealand-waitangi-day-dan-reformasi-sektor-publik-di-indonesia

No comments:

Post a Comment