Siapakah yang
lebih powerful, seorang menteri atau
anggota DPR? Pertanyaan ini tentu menarik ketika kita melihat peliknya situasi
politik belakangan ini, utamanya ketika terjadi debat sengit tentang etika
bersidang para pejabat negara di DPR. Kita sering melihat, sebagai contoh,
begitu mendebu-debunya seorang anggota DPR menuntut kehadiran seorang menteri
di persidangan DPR, tetapi ketika
menteri yang diundang akhirnya hadir, hanya segelintir anggota DPR yang hadir.
Kita juga sering melihat anggota DPR yang semangat bertanya di awal persidangan, tetapi ketika sang menteri memberi jawaban,
anggota DPR itu sudah tidak berada di ruang sidang, sibuk dengan urusan pribadinya di luar.
Dari persidangan
itu, kita bisa melihat bahwa anggota DPR merasa begitu powerful-nya
dibandingkan dengan seorang menteri. Lihatlah, anggota DPR mempunyai kewenangan memaksa seorang
menteri untuk hadir di persidangan, tetapi menteri tidak memiliki kewenangan itu.
Dalam sistem demokrasi parlementer seperti Selandia Baru,
Australia, atau Inggris Raya,
seorang menteri jelas lebih powerful dibandingkan dengan anggota DPR. Sebab, dalam
sistem parlementer ini, seorang
menteri juga merangkap jabatan
sebagai anggota DPR. Menteri dipilih oleh seorang perdana menteri dari anggota
DPR yang terpilih. Artinya,
untuk menjadi menteri, pertama kali seseorang harus dapat menguasai kursi
parlemen. Ia harus didukung oleh suara rakyat, yang biasanya melalui pemilihan langsung.
Akan halnya
dengan sistem presidensial sebagaimana di Indonesia, menteri tidak melalui proses seleksi pemilihan
langsung oleh rakyat. Dalam sistem presidensial ini, menteri dipilih oleh presiden, yang bisa jadi
sebelumnya sudah terpilih
menjadi anggota DPR atau bisa juga ‘hanya’ dari rakyat biasa. Karena itu, dalam sistem presidensial, seorang anggota DPR akan
merasa lebih powerful dibanding
seorang menteri. Ia bahkan merasa
memiliki posisi seimbang dengan presiden karena sama-sama dipilih langsung oleh
rakyat. Sebagaimana presiden, anggota DPR juga menganggap dirinya
bertanggung-jawab langsung ke rakyat. Dalam sistem presidensial, menteri hanya
bertanggung-jawab ke presiden.
Pertanyaan
lanjutannya, apakah sistem demokrasi yang dianut Indonesia itu telah tepat? Pertanyaan itu tentu sulit dijawab.
Sebab, proses demokrasi adalah proses politik yang panjang. Namun, Ziegenhain
(2015) menganggap bahwa proses demokrasi Indonesia bisa dibilang lebih baik dibandingkan dengan Thailand dan
Philipina. Thailand sampai sekarang sistem demokrasinya dianggap tidak legitimate karena konstitusinya
dihasilkan oleh pemerintahan militer. Sementara itu, Philipina menuju sistem
demokrasi yang tidak berujung dan tidak berpangkal. Banyak warga negaranya yang
akhirnya meninggalkan negeri ini mencari peruntungan di negara lain, seperti
Selandia Baru, karena suramnya masa depan negeri ini.
Ziegenhain (2015)
melihat sistem demokrasi Indonesia
lebih baik dari dua negara lainnya itu dari tiga mekanisme: akuntabilitas
pemilihan (electoral accountability),
akuntabilitas vertikal (vertical
accountability), dan akuntabilitas horisontal (horizontal accountability). Dengan mekanisme akuntabilitas
pemilihan langsung presiden/kepala daerah dan anggota DPR/DPRD saat ini,
Indonesia berhasil menghindari kondisi yang dapat menciptakan kembalinya
“diktator yang honest”. Sebab, salah satu ancaman demokrasi adalah munculnya “pemilih buta” yang begitu mengagum-agumkan pemimpin yang polos
dan jujur. Padahal, tanpa adanya akuntabilitas horisontal berupa pengawasan yang
berimbang dari anggota dewan, presiden yang awalnya berasal dari pejuang demokrasi atau rakyat biasa bisa menjadi diktator yang mengancam sistem demokrasi.
Kita bisa
melihat, sebagai contoh, apa saja yang dilakukan oleh Jokowi, (awalnya) sering dianggap benar. Sebagai pemimpin
yang berasal dari rakyat biasa, pemilihnya begitu mengagumkan dan memujanya. Begitu ada orang yang
mengkritik Jokowi, maka ia akan langsung dibantai oleh media konvensional
ataupun media sosial. Hal ini
jika dibiarkan akan memungkinkan Indonesia menuju diktator baru.
Syukurnya,
immunitas anggota DPR dalam mengawasi presiden, sebagai salah satu
mekanisme akuntabilitas horisontal, begitu kuat. Karena itu, kemungkinan Indonesia menciptakan diktator baru adalah
rendah. Dengan mekanisme akuntabilitas horisontal saat ini, anggota DPR dapat
menyuarakan pendapatnya yang dilindungi oleh perundangan yang ada. Mau tidak mau, akhirnya presiden harus mampu berkolaborasi dengan anggota DPR. Jika
presiden ingin berhasil menjalankan pemerintahannya, ia harus mau berkompromi
dengan anggota DPR. Dengan demikian, setiap keputusan yang dihasilkan adalah hasil konsensus dengan berbagai pihak.
Memang, pengambilan
keputusan berbasis konsensus mengakibatkan tidak jelasnya siapa yang harus bertanggung-jawab
jika suatu program gagal atau tidak berjalan. Namun, kepemimpinan berbasis konsensus ini akan memungkinkan kestabilan
demokrasi di Indonesia dan menghindarkan munculnya diktator baru yang dapat
mengancam demokrasi. Paling tidak, walaupun demokrasi Indonesia tidak semakin
maju dan stagnan, Indonesia masih bisa mempertahankan sistem demokrasinya (Ziegenhain, 2015).
Dari ketiga
mekanisme akuntabilitas itu, yang perlu diperbaiki jika Indonesia ingin
meningkatkan demokrasinya utamanya adalah akuntabilitas vertikal (Ziegenhain, 2015). Sebab, dengan sistem
demokrasi, proses desentralisasi tidak akan terhindarkan. Untuk menjaga agar
“raja-raja kecil” di daerah tidak mengancam demokrasi, maka akuntabilitas
vertikal harus ditegakkan. Peran berbagai kementerian dan lembaga di tingkat
pusat, walaupun paradoksial -- seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Keuangan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi,
dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional -- dalam menjaga akuntabilitas
vertikal sangat penting.
Sialnya,
alih-alih berkoordinasi, berbagai kementerian dan lembaga tingkat pusat malah
bekerja tanpa koordinasi. Mereka menerbitkan regulasi yang saling
tumpeng-tindih dan malah membingungkan pemerintahan di daerah.
Berbeda dengan
negara lain, ternyata untuk menjaga demokrasi di Indonesia, kita tidak hanya
perlu memperhatikan peran dari para politisi. Regulasi di Indonesia tidak hanya
dihasilkan oleh perdebatan para politisi, tetapi juga birokrasi (Crouch, 2010).
Lemahnya koordinasi instansi tingkat pusat adalah karena lemahnya koordinasi
para birokrat di tingkat pusat.
Mereka para
birokrat tingkat pusat
terlalu silau
dengan kepentingannya masing-masing sehingga lupa menjaga akuntabilitas
vertikal. Penegakan akuntabilitas vertikal, berupa pengawasan kepada lembaga di
tingkat daerah, bukan hanya milik Kementerian Dalam Negeri, tetapi juga
berbagai kementerian lain di tingkat pusat. Karena itu, menjadi tantangan bagi
kita semua untuk memperbaiki akuntabilitas vertikal tersebut.