Wednesday 28 October 2015

"The Disintegrated Systems of Spark's Complaint Management Systems"


To maintain their survival, corporations should be able to respond well to the needs of their customers. When serving the customers, it is important for a corporation to have an integrated process. This process is usually supported with IT systems. However, sometimes companies have an extant process before, then the IT systems come. The next problem is usually a corporation has already implemented a legacy system or an old IT platform before and then it has to implement a new technology platform to serve business needs. However, this new platform sometimes could not be integrated easily with the legacy or old system. Therefore, it is not unusual in practice that a company still operates disintegrated IT systems to serve its customers. This company also has to maintain many redundant IT systems that could not communicate each other. Thus, it becomes very difficult to manage IT systems like these since the complexity of these disintegrated IT systems. However, to maintain its survival and to compete with other companies in the recent global environment, a company should continuously initiate the integration initiatives. A company may not just leave their disintegrated IT systems as it is. It could give bad corporate image and customers in the long run will leave this company.

Corporations that are operated using high tech should understand about the need to integrate their IT systems, especially a company that has determined Internet services as its core business. However, what I learned from Spark was not like that. Whilst the main business of Spark is Internet services, it has a difficulty to integrate its systems. I had experience with these disintegrated systems when complaining about my broadband connection using the Spark Chat. I had already contacted the Spark Call Center before. They had log in the case. In the next day, I wanted to check the follow up of my complaint using the Spark Chat. I asked the operator who was chatting with me whether there was a record about my complaint. Unfortunately, the operator told me that he could not read the records because he did not have access to the other systems. In practice, the main job of Spark Chat's operator only to record the complaints again and ask other people in Spark to contact back the customers through the Spark Call Center. Poorly, if we have already shared the problems to the Spark Chat, the person who contacts us from the Spark Call Center will ask again what is the problem because this new person does not have access to the records in the Spark Chat's conversation.

I think if Spark people want to maintain their business, they need to integrate their systems especially the systems that have direct contact or interaction with customers, such as the Spark's complaint management systems. The systems in the Spark Chat, the Spark Call Center, and the other systems in Spark should be integrated so they could serve customers better, efficiently and effectively.

Tuesday 30 June 2015

Menegakkan Akuntabilitas dan Demokrasi di Indonesia

Siapakah yang lebih powerful, seorang menteri atau anggota DPR? Pertanyaan ini tentu menarik ketika kita melihat peliknya situasi politik belakangan ini, utamanya ketika terjadi debat sengit tentang etika bersidang para pejabat negara di DPR. Kita sering melihat, sebagai contoh, begitu mendebu-debunya seorang anggota DPR menuntut kehadiran seorang menteri di persidangan DPR, tetapi ketika menteri yang diundang akhirnya hadir, hanya segelintir anggota DPR yang hadir. Kita juga sering melihat anggota DPR yang semangat bertanya di awal persidangan, tetapi ketika sang menteri memberi jawaban, anggota DPR itu sudah tidak berada di ruang sidang, sibuk dengan urusan pribadinya di luar.

Dari persidangan itu, kita bisa melihat bahwa anggota DPR merasa begitu powerful-nya dibandingkan dengan seorang menteri. Lihatlah, anggota DPR mempunyai kewenangan memaksa seorang menteri untuk hadir di persidangan, tetapi menteri tidak memiliki kewenangan itu.

Dalam sistem demokrasi  parlementer seperti Selandia Baru, Australia, atau Inggris Raya, seorang menteri jelas lebih powerful dibandingkan dengan anggota DPR. Sebab, dalam sistem parlementer ini, seorang menteri juga merangkap jabatan sebagai anggota DPR. Menteri dipilih oleh seorang perdana menteri dari anggota DPR yang terpilih. Artinya, untuk menjadi menteri, pertama kali seseorang harus dapat menguasai kursi parlemen. Ia harus didukung oleh suara rakyat, yang biasanya melalui pemilihan langsung.

Akan halnya dengan sistem presidensial sebagaimana di Indonesia, menteri tidak melalui proses seleksi pemilihan langsung oleh rakyat. Dalam sistem presidensial ini, menteri dipilih oleh presiden, yang bisa jadi sebelumnya sudah terpilih menjadi anggota DPR atau bisa juga ‘hanya’ dari rakyat biasa. Karena itu, dalam sistem presidensial, seorang anggota DPR akan merasa lebih powerful dibanding seorang menteri. Ia bahkan merasa memiliki posisi seimbang dengan presiden karena sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Sebagaimana presiden, anggota DPR juga menganggap dirinya bertanggung-jawab langsung ke rakyat. Dalam sistem presidensial, menteri hanya bertanggung-jawab ke presiden.

Pertanyaan lanjutannya, apakah sistem demokrasi yang dianut Indonesia itu telah tepat? Pertanyaan itu tentu sulit dijawab. Sebab, proses demokrasi adalah proses politik yang panjang. Namun, Ziegenhain (2015) menganggap bahwa proses demokrasi Indonesia bisa dibilang lebih baik dibandingkan dengan Thailand dan Philipina. Thailand sampai sekarang sistem demokrasinya dianggap tidak legitimate karena konstitusinya dihasilkan oleh pemerintahan militer. Sementara itu, Philipina menuju sistem demokrasi yang tidak berujung dan tidak berpangkal. Banyak warga negaranya yang akhirnya meninggalkan negeri ini mencari peruntungan di negara lain, seperti Selandia Baru, karena suramnya masa depan negeri ini.

Ziegenhain (2015) melihat sistem demokrasi Indonesia lebih baik dari dua negara lainnya itu dari tiga mekanisme: akuntabilitas pemilihan (electoral accountability), akuntabilitas vertikal (vertical accountability), dan akuntabilitas horisontal (horizontal accountability). Dengan mekanisme akuntabilitas pemilihan langsung presiden/kepala daerah dan anggota DPR/DPRD saat ini, Indonesia berhasil menghindari kondisi yang dapat menciptakan kembalinya “diktator yang honest”. Sebab, salah satu ancaman demokrasi adalah munculnya pemilih buta yang begitu mengagum-agumkan pemimpin yang polos dan jujur. Padahal, tanpa adanya akuntabilitas horisontal berupa pengawasan yang berimbang dari anggota dewan, presiden yang awalnya berasal dari pejuang demokrasi atau rakyat biasa bisa menjadi diktator yang mengancam sistem demokrasi.

Kita bisa melihat, sebagai contoh, apa saja yang dilakukan oleh Jokowi, (awalnya) sering dianggap benar. Sebagai pemimpin yang berasal dari rakyat biasa, pemilihnya begitu mengagumkan dan memujanya. Begitu ada orang yang mengkritik Jokowi, maka ia akan langsung dibantai oleh media konvensional ataupun media sosial. Hal ini jika dibiarkan akan memungkinkan Indonesia menuju diktator baru. 

Syukurnya, immunitas anggota DPR dalam mengawasi presiden, sebagai salah satu mekanisme akuntabilitas horisontal, begitu kuat. Karena itu, kemungkinan Indonesia menciptakan diktator baru adalah rendah. Dengan mekanisme akuntabilitas horisontal saat ini, anggota DPR dapat menyuarakan pendapatnya yang dilindungi oleh perundangan yang ada. Mau tidak mau, akhirnya presiden harus mampu berkolaborasi dengan anggota DPR. Jika presiden ingin berhasil menjalankan pemerintahannya, ia harus mau berkompromi dengan anggota DPR. Dengan demikian, setiap keputusan yang dihasilkan adalah hasil konsensus dengan berbagai pihak.

Memang, pengambilan keputusan berbasis konsensus mengakibatkan tidak jelasnya siapa yang harus bertanggung-jawab jika suatu program gagal atau tidak berjalan. Namun, kepemimpinan berbasis konsensus ini akan memungkinkan kestabilan demokrasi di Indonesia dan menghindarkan munculnya diktator baru yang dapat mengancam demokrasi. Paling tidak, walaupun demokrasi Indonesia tidak semakin maju dan stagnan, Indonesia masih bisa mempertahankan sistem demokrasinya (Ziegenhain, 2015).

Dari ketiga mekanisme akuntabilitas itu, yang perlu diperbaiki jika Indonesia ingin meningkatkan demokrasinya utamanya adalah akuntabilitas vertikal (Ziegenhain, 2015). Sebab, dengan sistem demokrasi, proses desentralisasi tidak akan terhindarkan. Untuk menjaga agar “raja-raja kecil” di daerah tidak mengancam demokrasi, maka akuntabilitas vertikal harus ditegakkan. Peran berbagai kementerian dan lembaga di tingkat pusat, walaupun paradoksial -- seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional -- dalam menjaga akuntabilitas vertikal sangat penting.

Sialnya, alih-alih berkoordinasi, berbagai kementerian dan lembaga tingkat pusat malah bekerja tanpa koordinasi.  Mereka menerbitkan regulasi yang saling tumpeng-tindih dan malah membingungkan pemerintahan di daerah.

Berbeda dengan negara lain, ternyata untuk menjaga demokrasi di Indonesia, kita tidak hanya perlu memperhatikan peran dari para politisi. Regulasi di Indonesia tidak hanya dihasilkan oleh perdebatan para politisi, tetapi juga birokrasi (Crouch, 2010). Lemahnya koordinasi instansi tingkat pusat adalah karena lemahnya koordinasi para birokrat di tingkat pusat.

Mereka para birokrat tingkat pusat terlalu silau dengan kepentingannya masing-masing sehingga lupa menjaga akuntabilitas vertikal. Penegakan akuntabilitas vertikal, berupa pengawasan kepada lembaga di tingkat daerah, bukan hanya milik Kementerian Dalam Negeri, tetapi juga berbagai kementerian lain di tingkat pusat. Karena itu, menjadi tantangan bagi kita semua untuk memperbaiki akuntabilitas vertikal tersebut.

Tuesday 28 April 2015

Umur Ekonomis Mahasiswa PhD

Tempo hari ada seorang mahasiswa yang sedang mengambil master di Auckland berpandangan bahwa menjadi mahasiswa PhD itu lebih banyak waktu. Mereka mahasiswa PhD itu punya waktu lebih banyak untuk jalan-jalan, bisa lebih sering update status facebook, dan seterusnya. Ternyata pandangan itu tidaklah selalu benar.

Selama sekitar satu tahun melalui perjalanan sebagai mahasiswa PhD, saya merasakan bahwa mahasiswa PhD bukan berarti memiliki waktu lebih banyak dari mahasiswa master. Hal ini terasa ketika minggu lalu saya mendapat konfirmasi candidature. Saya dan kedua supervisor saya cukup berbahagia ketika komite di fakultas sangat mengapresiasi proposal yang saya buat; dengan bantuan supervisi dari kedua supervisor saya, tentunya. Email dari sekretariat komite tertulis seperti ini:
"Dear Rudy
The PhD/MPhil Committee meeting of 22 April 2015 considered your PGR9 Confirmation of Candidature Research Proposal.
I am pleased to advise that the Committee approved your PGR9. The Committee commend you on an excellent report and presentation. Congratulations!
Congratulations Rudy."
Cukup menyenangkan bukan? Ya, untuk sesaat. Ternyata itu barulah langkah awal. Walaupun saya mempunyai masa waktu menyelesaikan PhD sekitar 3 tahun, bukan berarti umur mahasiswa PhD itu 3 tahun dan bisa berleha-leha, loch.

Dalam pandangan saya, ternyata umur ekonomis mahasiswa PhD itu bisa ditaksir sekitar 6 bulan dan bukan 3 tahun. Umur ekonomis ini biasa dikenal di dunia akuntansi. Maklumlah, orang akuntansi suka mengkuantifikasi banyak hal. Bahkan, umur ekonomis Anda sebagai pegawai perusahaan pun dicoba untuk diukur oleh orang akuntansi, yang biasa dikenal sebagai human capital atau human asset.

Umur ekonomis banyak digunakan untuk mengukur aset. Aset itu bagi dunia akuntansi mempunyai umur ekonomis. Walaupun aset sejenis mobil bisa dipakai 10 tahun atau lebih, bagi dunia akuntansi umur ekonomisnya hanya 5 tahun. Kalau kita ingin memperpanjang umur ekonomisnya, maka pada akhir tahun ke-5 harus di-valuasi kembali. Kadang, aset itu harus di-overhaul total dengan biaya tambahan agar umur ekonomisnya bisa diperpanjang.

Umur ekonomis mahasiswa PhD itu 6 bulan karena setiap akhir bulan ke-6 supervisor dan universitas akan meng-valuasi kembali secara periodik mahasiswa PhD. Nach, di sinilah titik kritisnya. Walaupun seorang mahasiswa PhD sudah menjadi PhD Candidate, bukan berarti umur ekonomisnya 3 tahun. Seorang mahasiswa PhD harus bisa meyakinkan supervisor dan universitasnya bahwa umur ekonomisnya bisa diperpanjang setelah 6 bulan itu untuk 6 bulan berikutnya.

Jika mereka melihat umur ekonomisnya tidak bisa diperpanjang, maka seorang mahasiswa PhD akan di-scrap. Karena itu, mahasiswa PhD terus mempunyai semangat agar tidak menjadi barang scrap.

Sunday 8 March 2015

Tinggal di Pinggiran Auckland


Umumnya, mahasiswa di Auckland disarankan tinggal di city. Pertimbangan utama adalah agar tidak mengeluarkan biaya transportasi lagi ketika ke kampus. Cukup jalan kaki.

Sebelum saya tiba di Auckland, saya sudah merancang tinggal di Auckland karena saya tidak terlalu nyaman tinggal di city. Dari kecil saya dibesarkan di city, kota Jakarta. Sebelum tinggal di Auckland, saya tinggal di pinggiran Jakarta, daerah Bintaro. Biasanya saya naik kereta atau kendaraan dinas jika menuju ke kantor. Kalau naik kendaraan dinas, saya tidak nyaman menyetir sendiri, biasanya disupiri oleh supir kantor.


Saya sudah lama menikmati kehidupan di pinggiran. Akhir pekan bisa bersepeda ria dan banyak aktivitas lainnya. Nach, ketika akan ke Auckland, beberapa mahasiswa yang sudah lebih dahulu tinggal di Auckland sempat saya minta tolong untuk mencarikan tempat tinggal yang murah di arah selatan Auckland, seperti Mount Roskill, Mount Wellington, bahkan Manukau. Ternyata, mereka tidak ada yang berani merekomendasikan saya tinggal di sana. Rupanya ada masalah keamanan lingkungan.


Ketika beberapa waktu lalu saya mampir ke presentasi seorang teman di AUT Manukau, saya tadinya akan memarkirkan kendaraan saya di jalan, seperti kebiasaan saya tinggal saat ini di North Shore. Ternyata, teman saya tidak menyarankan saya untuk melakukan itu. Kendaraan kita bisa hilang, katanya. Jadi, sampai saat ini saya tidak punya pengalaman tinggal di arah selatan Auckland.


Pengalaman saya tinggal di pinggiran Auckland arah utara, North Shore, ternyata saran untuk tinggal di city dengan alasan biaya transportasi sebenarnya tidak selalu tepat. Sering ada yang salah memperhitungkan bahwa tinggal di North Shore akan mengeluarkan biaya transport 3 stage ke city. Saya rasa, itu tidak selalu demikian. Hal ini tergantung di mana kita tinggal di North Shore dan tahu kapan ke kampus atau kembali dari kampus, atau juga alternatif lain bertransportasi.


Cara untuk menghemat yang biasanya saya lakukan adalah pertama dengan berangkat ke kampus di AUT City pagi hari, kemudian pulang sore, jangan kemalaman. Sampai jam 8.15 pagi, ada bus direct dari tempat tinggal saya di Glenfield ke AUT City (Mayoral Drive). Saya bayar sekali jalan $2.92 dengan kartu AT Hop. Pulang pergi tentu sekitar $6. Nach, bisa dikalkulasi jika ke kampus 5 hari seminggu sekitar $30. Kalau dikompensasi dengan biaya sewa di city, tentu sebenarnya masih kompetitif. Apalagi jika kita tinggal bersama keluarga. Tinggal di city tentu sangat tidak terjangkau tarif sewanya untuk sebuah keluarga.


Cara kedua, kalau saya kesiangan, saya naik sepeda atau memarkirkan kendaraan saya di dekat kampus AUT North Shore. Kemudian, saya naik shuttle bus AUT North Shore ke AUT City sekitar $2 sekali jalan. Pulang pergi sekitar $4.


Cara ketiga, ketika hari libur, di mana shuttle bus AUT North Shore tidak beroperasi, saya memarkirkan mobil saya di stasiun Akaronga. Di sana bisa parkir free 4 jam. Atau saya ke stasiun yang agak jauh, Constellation. Di sana free parkir seharian. Ada stasiun yang dekat rumah, Smales Farm, saya bisa parkir sepeda di sana. Tarif sekali jalan $2.21 naik Northern Express, turun di Britomart, dan jalan ke kampus. Nach, dari stasiun-stasiun ini saya lihat di pagi hari juga ada bis yang direct ke University of Auckland (UOA). Saya juga kadang naik bis ini, turun di Symonds Street, langsung ke ruang kerja saya di AUT City. Saya perhatikan banyak juga student UOA yang tinggal di North Shore. Jadi, pulang-pergi sekitar $5.


Cara keempat, dan ini hanya bisa dilakukan oleh student AUT, saya lebih sering bekerja di AUT North Shore. Saya parkir sepeda di kampus atau mobil di jalan. Di sana saya bisa bekerja di ruang postgraduate, sharing dengan student master. Saya malah lebih banyak kerja di ruang ini daripada di AUT City karena suasana belajarnya lebih terasa. Mungkin karena di ruang ini dilarang ribut, kemudian desain ruangannya menyenangkan, ada dapur langsung di dalam ruangan, dan bersih. Kalau di office saya di AUT City, debu selalu menjadi masalah. Saya sensitif dengan debu. Kemudian, bising dengan kendaraan yang lewat.


Cara keempat ini juga bisa saya lakukan karena supervisor saya orang yang mudah diajak berkomunikasi secara elektronik. Walaupun sudah berumur, mereka familiar menggunakan media elektronik. Review proposal saya dilakukan langsung ke file dengan mengaktifkan tracking system di word processor. Saya hanya bertemu pada waktu-waktu tertentu saja.


Yang menyenangkan juga tentunya adalah saya tidak perlu membayar biaya mingguan untuk parkir mobil seperti halnya jika tinggal di City. Kendaraan bagi saya sangat perlu. Keluarga tentu saja akan jenuh jika tinggal di rumah, atau hanya jalan di sekitaran saja. Bersosialisasi dengan mengikuti pengajian juga memerlukan kendaraan. Dengan tinggal di pinggiran, kita bisa parkir bebas di jalanan ketika tinggal di North Shore, tanpa membayar biaya sewa parkir segala.


Sebenarnya, saya terpikir juga pindah ke selatan Auckland. Namun, membaca berita kriminal di daerah sana, menjadi ngeri-ngeri sedap juga. Ada memang kriminal di North Shore, tetapi pemberitaannya tidak sesering di arah selatan yang saya baca. Pertimbangan lain, anak pertama saya yang di Westlake Boys School sudah mulai nyaman. Kebanyakan orang saya lihat bangga sekolah di sana. Saya lihat memang sistem belajarnya bagus. Di sekolah ini, pelajaran yang diberikan komprehensif. Sejauh ini anak saya sudah berhasil menaikkan band-nya.


Demikian. Mudah-mudah bermanfaat dan menambah wawasan untuk bisa survive menangani biaya transportasi dan kehidupan di Auckland, terutama untuk yang berkeluarga.

Saturday 7 February 2015

New Zealand Waitangi Day dan Reformasi Sektor Publik di Indonesia


Tanggal 6 Februari adalah Hari Waitangi (Waitangi Day), di mana perjanjian antara Kerajaan Inggris dan kerajaan-kerajaan atau suku-suku di Aotearoa (New Zealand) ditandatangani sekitar 174 tahun yang lalu (6 Februari 1840) di sebuah daerah yang disebut Waitangi. Bisa dibilang, inilah hari jadinya Undang-Undang Dasar (UUD), sebuah konstitusi bernegara, yang hanya tiga paragraf, disahkan di New Zealand.

Anda bisa bayangkan, sebuah negara yang dikenal begitu majunya, ternyata hanya dibentuk dengan sebuah kontrak antara Kerajaan Inggris dengan sekitar 540 kepala suku di New Zealand. Kontrak ini bukannya tidak meninggalkan masalah, justru pada hari inilah terjadi perdebatan kembali tentang isi kontrak tersebut. Karena itu, pada hari inilah, orang-orang asli (Maori) memperdebatkan kembali hak-hak mereka yang mesti ditunaikan oleh para pendatang kulit putih (Pakeha) dan juga sebaliknya. 

Masing-masing pihak masih mempertanyakannya. Untuk menuntaskan ini, bahkan sampai dibuat peradilan tersendiri. Banyak kasus yang akhirnya bisa diselesaikan, dengan menunaikan secara cash settlement, permintaan maaf, atau cara lain.

Di tengah kelabilan fondasi bernegara, hebatnya, negara ini bisa maju terus. Pertumbuhan yang menakjubkan dan terkendali. Selalu terkenal sebagai negara yang termasuk "paling" bersih dari KKN, negara yang "paling" nyaman ditinggali, dan seterusnya.

Ketika mereka berhasil mereformasi negaranya sekitar tahun 1984 - 1990, di bawah Partai Buruh--mirip partai aliran sosialis kiri yang sekarang memimpin Indonesia--banyak tulisan akademik yang disusun. New Zealand selalu menjadi contoh keberhasilan reformasi di bawah teori New Public Management (NPM) setelahnya, termasuk misalnya transisi menuju sistem akrual yang kini diterapkan di Indonesia.

Beberapa negara berkembang yang masih dikungkung keterbelakangan seperti Indonesia pun mencoba-coba meniru perubahan radikal tersebut, yang biasa diusung dengan kata "reformasi". Agar reformasi berhasil, beberapa resep NPM kemudian dibuat oleh negara donor seperti WorldBank dan ADB; dan Indonesia mengikutinya dengan taat.

Beberapa hal telah mulai dilakukan di Indonesia. Beberapa hal berhasil, beberapa hal gagal. Sebuah tulisan sebenarnya telah mengingatkan agar negara berkembang jangan mencoba-coba mengadopsi program reformasi negara maju seperti New Zealand, tanpa melalui beberapa prasyarat utama (Schick, 1998). Perubahan dari sistem yang biasanya informal di negara berkembang seperti Indonesia menuju NPM selalu akan menjadi bumerang. Kini kegagalan itu sudah semakin tampak di depan mata.

Saya tidak akan menguraikan secara detail nasehat tersebut. Saya akan mengambil beberapa hal yang menarik dari segi keilmuan kita. Saya mencoba merefer ke beberapa tulisan yang pernah diargumentasikan oleh pendukung NPM di Indonesia.

Suatu argumen yang sering didebatkan: Kita korupsi karena gaji kita rendah atau gaji kita rendah karena kita korupsi? Beberapa pendukung ekonomi pasar, tentu akan berargumentasi ke hal kedua. Teori market selalu menyalahkan orangnya, bukan kelembagaannya. Itulah sebabnya NPM selalu dibilang berbasis institusional ketimbang manusianya. NPM adalah pemikiran neoliberalism yang diajarkan dan didoktrinkan terus sebagai pilihan yang paling tepat di negara berkembang oleh pendukungnya.

Padahal, Schick (1998) mengingatkan:
"In the case of civil service rules, this means that pay levels rise as the economy develops, the number of g[o]host positions declines, and public employees are given opportunities to acquire new skills and advance professionally. If these conditions are absent, learning will take place, but it will be pathological: how to beat the system, how to outmaneuver the controllers, how to get paid without really working, and so on."

Idealnya, pendapatan pegawai di sektor publik meningkat ketika perekonomian negara semakin baik, jumlah pegawai yang tidak jelas kerjanya menurun, dan para pegawai itu diberikan kesempatan untuk meningkatkan komptensinya. Itu idealnya. Masalahnya, ketidakidealan itu terjadi terus di Indonesia. 

Contoh yang nyata adalah masih banyaknya "gost employees" di pemerintahan Indonesia yang masih dipertahankan. Kita tidak berani melakukan perubahan radikal atas hal ini, dengan memberhentikan mereka atau merumahkan mereka. Akhirnya, yang terjadi adalah sebagaimana ditulis Schick (1998), kondisinya menjadi semakin patologis. Mereka para pegawai -- termasuk anggota polisi yang kita perdebatkan belakangan ini -- semakin cerdas, belajar bagaimana mengakali sistem, bagaimana mengakali para auditor, bagaimana mendapat remunerasi yang semakin besar tanpa benar-benar bekerja yang bermanfaat untuk masyarakat.

Kesalahan berikutnya yang kita bisa lihat adalah NPM mengajarkan kita untuk melakukan otonomi dan desentralisasi. Pemerintah daerah diberi hak mengatur sendiri urusannya. Instansi pemerintah diberi hak untuk mengatur sendiri sistem keuangannya. Padahal, Schick (1998) bilang, desentralisasi dan otonomi itu bisa diberikan jika saja kita telah melalui proses terintegrasi. Kita bisa mengendalikan sesuatu secara terintegrasi dulu, baru kemudian memberikan kesempatan organisasi di level bawah bekerja secara otonom dan terdesentralisasi. 

Bukan malah kebalikannya seperti saat ini, kita kini menghabiskan enerji membawa kembali semua komponen bangsa agar mau kembali ke konsep integratif, sebuah NKRI. Ini kata Schick (1998): "[T]hey must operate in integrated, centralized departments before being authorized to go it alone in autonomous agencies."

Kegagalan berikutnya adalah, kita salah meletakkan strategi pengendalian. Selama ini kita terlalu banyak menekankan pengendalian eksternal, dengan adanya lembaga badan pemeriksa eksternal seperti BPK dan lembaga independen pemberantasan korupsi, seperti KPK. Kita mestinya telah bergeser seperti yang ditulis Schick (1998): "[F]rom control of individual actions to control within a broad band, from reviewing specific actions to reviewing systems.

Saat ini, pegawai pemerintah sedang dituntut membuat SKP, membuat kinerja yang semakin individualis. Padahal, sebuah negara yang berhasil adalah mengelola kinerjanya bukan per individu, tetapi sebuah "block", sistem kolektif. Jika yang dikejar masih individu orang per orang, maka sampai kapan pun yang terjadi adalah akal-akalan sistem. "They will 'game' the system, and even cheat, to gain the maximum reward for the minimum effort," tulis Talbot (2010). Mereka akan merekayasa seolah-olah telah berkinerja, padahal tidak benar-benar berkinerja.

Karena itu, Schick (1998) kembali menulis, kalau negara berkembang seperti Indonesia akan maju sektor publiknya, seperti Singapura, Indonesia mestinya bergeser dari "external to internal controls" dan kemudian barulah pantas mencangkokkan program reform yang ada di negara maju seperti New Zealand ke Indonesia. Indonesia mesti menempatkan pengendalian terhadap kumpulan orang-orang, team (sebagai sebuah "block"), daripada orang-per orang. 

Jika kita masih dalam fase menumbuhkan ketakutan terhadap "external controls", maka sampai kapan pun Indonesia tidak akan maju. Tidak akan pernah sampai ke results-based budgeting yang selalu diagung-agungkan oleh pendukung reformasi!

Dipublikasi di Detik.com pada alamat 

http://news.detik.com/read/2015/02/09/205420/2828214/103/new-zealand-waitangi-day-dan-reformasi-sektor-publik-di-indonesia

Tuesday 2 December 2014

Menaikkan Anggaran Kepolisian: Apakah Solusi?

Sumber foto: http://www.nzherald.co.nz/

Kepolisian akhirnya buka-bukaan dengan keyataan pahit selama ini, yaitu soal bagaimana aparat kepolisian mengelola operasinya dan memperoleh dana. Karena dana yang terbatas, kepolisian telah menyatakan secara jujur dan terbuka bagaimana cara-cara lama digunakan untuk menangani kasus. Hal ini jarang sekali diperbincangkan secara terbuka.

Bagi aparat kepolisian, sangat lazim dikenal istilah sumber dana dari si parman atau superman, yang panjangnya adalah dana dari "partisipasi teman" atau "sumbangan pertemanan". Dana ini biasanya digunakan untuk menyelesaikan suatu kasus. Misalnya, mencari pencuri atau pembunuh. Aparat kepolisian membutuhkan biaya transportasi dan akomodasi untuk ini. Para komandan sering menganggap bahwa itu urusan masing-masing aparatnya untuk mencari dana tersebut.

Karena itu, aparat kepolisian sering mencari dana dari pengusaha, atau bahkan ke pengusaha yang memiliki usaha ilegal, seperti bisnis prostitusi atau perjudian. Malah, kadang untuk kepentingan operasi menangkap pencuri atau pembunuh tersebut, aparat kepolisian dengan bahasa yang diharapkan bisa dipahami sendiri sering meminta bantuan dana dari korban atau keluarga korban. Karena itulah, muncul joke kalau kita kehilangan ayam, kemudian melapor ke kepolisian, malah bisa kehilangan sapi.

Pada acara yang dihadiri lengkap para petinggi kepolisian, Presiden Jokowi menyatakan akan memberikan kenaikan dana 18%, atau sekitar Rp 8 triliun untuk menyelesaikan masalah klasik itu. Pertanyaannya, apakah itu cara tepat?

Tentu saja, bahwa permasalahan ketersediaan dana adalah permasalahan klasik dalam mengelola organisasi publik, termasuk aparat kepolisian. Namun, menaikkan anggaran 18% rasanya tidak dengan serta merta akan menaikkan kinerja kepolisian atau menuntaskan masalah yang ada. Sebab, Indonesia mempunyai lokasi geografis yang luas dan jumlah penduduk yang begitu besar. Karena itu, pemerintah mestinya mencari cara-cara yang lebih tepat untuk meningkatkan kinerja kepolisian.

Salah satunya adalah mongoptimalkan kembali konsep hankamrata. Kepolisian tidak akan bisa bekerja sendiri dalam memberantas tindak kriminal di masyarakat, apalagi dengan berkembangnya kejahatan berupa kelompok preman (organised crime) yang marak atau semakin dibiarkan di Indonesia. Saat ini, sebenarnya konsep hankamrata itu masih berjalan. Sebagai contoh, kita masih mempunyai keamanan RT dan RW. Bahkan, keamanan ini pun sering duplikasi. Di beberapa perumahan mewah pun marak keamanan per cluster. Masing-masing kelompok di Indonesia sebenarnya sudah mempunyai sistem keamanannya. Mereka membiayai sendiri operasi keamanan tersebut. Langkah pertama, mestinya kepolisian segera membangun sistem yang mengintegrasikan community policing agar bisa dioptimasi oleh kepolisian.

Cara sederhana yang bisa dilakukan kepolisian untuk mengintegrasikan berbagai sistem keamanan berbasis komunal itu adalah dengan menggunakan teknologi. Kepolisian mestinya menginvestasikan anggarannya untuk membangun lebih banyak sistem komunikasi dengan berbagai sistem keamanan komunal tersebut. Kemudian, bagi beberapa kelompok komunal yang belum memiliki CCTV, kepolisian perlu menyebar perangkat ini ke berbagai wilayah lebih banyak lagi. CCTV yang ada di kelompok komunal juga harus diintegrasikan ke sistem nasional di kepolisian. Dengan demikian, setiap kejahatan bisa sejak dini dipantau. Jika terjadi kejahatan, kepolisian pun bisa terbantu untuk menelusurinya dari berbagai perangkat tersebut.

Di Selandia Baru, konsep ini sudah lama dijalankan. Karena itu, untuk tahun anggaran 2014/15 anggaran kepolisian tidak dinaikkan. Malah, anggaran yang diterima tahun 2014/15 hampir sama dengan anggaran kepolisian tahun 2009/2010. Argumentasinya adalah sistem keamanan kepolisian telah dilengkapi peralatan canggih seperti smartphone dan tablet yang itu diperhitungkan sebagai efisiensi 500 ribu jam kerja dan sejumlah tertentu aparat kepolisian (NZ Herald, 15 Mei 2014). Itu pun terjadi pada anggaran Serious Fraud Office (semacam Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia), berkurang sekitar 2 juta dollar dari tahun sebelumnya.

Memang, dengan pola yang saat ini ada di Selandia Baru, kepolisian tampak tidak berada di setiap tempat. Masyarakat jarang melihat adanya aparat kepolisian di wilayahnya. Namun, setiap ada kejahatan, kepolisian dapat bertindak cepat. Mereka pun banyak berhasil menelusuri pelaku tindak kejahatan. Padahal, mereka tidak membawa alat senjata ketika beroperasi.

Selain integrasi dengan sistem keamanan komunal, kepolisian Indonesia juga perlu mengintegrasikan sistemnya dengan sistem lain yang terkait penanganan kecelakaan, kekerasan, kejahatan atau kriminal. Sebagai contoh, setiap kejahatan dengan tindak kekerasan tentu ada korban. Tentunya korban ini kadang masih bisa diselamatkan. Golden time itu sangat penting dalam penyelamatan korban. Karena itu, sistem kepolisian harus terintegrasi dengan sistem penanganan kecelakaan, seperti ambulans, rumah sakit, bahkan pemadam kebakaran.

Untuk menghindari konflik dengan aparat militer, aparat kepolisian juga harus mau bekerja sama dan mengoptimalkan kemampuan militer. Sebagaimana di negara maju, jika sudah masuk kondisi darurat, seperti kerusuhan massal dan penjarahan, saatnya kepolisian melibatkan aparat militer, semacam Garda Nasional di Amerika Serikat.

Kolaborasi itu penting agar kepolisian dan lembaga layanan publik lainnya yang ada di Indonesia tidak terperangkap dengan keterbatasan anggaran. Setiap lembaga publik harus bisa bekerja di tengah keterbatasan anggaran. Itulah yang menjadi keunikan tersendiri dalam mengelola lembaga publik.

Intinya adalah kenaikan anggaran tetap perlu, tetapi kepolisian harus mempunyai langkah stratejik dalam menggunakan anggaran tersebut. Jika tidak, maka itu akan menjadi permasalahan klasik lembaga publik. 

Monday 24 November 2014

PhD Morning Tea

clip_image001

Just another morning tea with the other PhD students at AUT Business School. This is the final morning tea for this year. See you all next year.