Tuesday 2 December 2014

Menaikkan Anggaran Kepolisian: Apakah Solusi?

Sumber foto: http://www.nzherald.co.nz/

Kepolisian akhirnya buka-bukaan dengan keyataan pahit selama ini, yaitu soal bagaimana aparat kepolisian mengelola operasinya dan memperoleh dana. Karena dana yang terbatas, kepolisian telah menyatakan secara jujur dan terbuka bagaimana cara-cara lama digunakan untuk menangani kasus. Hal ini jarang sekali diperbincangkan secara terbuka.

Bagi aparat kepolisian, sangat lazim dikenal istilah sumber dana dari si parman atau superman, yang panjangnya adalah dana dari "partisipasi teman" atau "sumbangan pertemanan". Dana ini biasanya digunakan untuk menyelesaikan suatu kasus. Misalnya, mencari pencuri atau pembunuh. Aparat kepolisian membutuhkan biaya transportasi dan akomodasi untuk ini. Para komandan sering menganggap bahwa itu urusan masing-masing aparatnya untuk mencari dana tersebut.

Karena itu, aparat kepolisian sering mencari dana dari pengusaha, atau bahkan ke pengusaha yang memiliki usaha ilegal, seperti bisnis prostitusi atau perjudian. Malah, kadang untuk kepentingan operasi menangkap pencuri atau pembunuh tersebut, aparat kepolisian dengan bahasa yang diharapkan bisa dipahami sendiri sering meminta bantuan dana dari korban atau keluarga korban. Karena itulah, muncul joke kalau kita kehilangan ayam, kemudian melapor ke kepolisian, malah bisa kehilangan sapi.

Pada acara yang dihadiri lengkap para petinggi kepolisian, Presiden Jokowi menyatakan akan memberikan kenaikan dana 18%, atau sekitar Rp 8 triliun untuk menyelesaikan masalah klasik itu. Pertanyaannya, apakah itu cara tepat?

Tentu saja, bahwa permasalahan ketersediaan dana adalah permasalahan klasik dalam mengelola organisasi publik, termasuk aparat kepolisian. Namun, menaikkan anggaran 18% rasanya tidak dengan serta merta akan menaikkan kinerja kepolisian atau menuntaskan masalah yang ada. Sebab, Indonesia mempunyai lokasi geografis yang luas dan jumlah penduduk yang begitu besar. Karena itu, pemerintah mestinya mencari cara-cara yang lebih tepat untuk meningkatkan kinerja kepolisian.

Salah satunya adalah mongoptimalkan kembali konsep hankamrata. Kepolisian tidak akan bisa bekerja sendiri dalam memberantas tindak kriminal di masyarakat, apalagi dengan berkembangnya kejahatan berupa kelompok preman (organised crime) yang marak atau semakin dibiarkan di Indonesia. Saat ini, sebenarnya konsep hankamrata itu masih berjalan. Sebagai contoh, kita masih mempunyai keamanan RT dan RW. Bahkan, keamanan ini pun sering duplikasi. Di beberapa perumahan mewah pun marak keamanan per cluster. Masing-masing kelompok di Indonesia sebenarnya sudah mempunyai sistem keamanannya. Mereka membiayai sendiri operasi keamanan tersebut. Langkah pertama, mestinya kepolisian segera membangun sistem yang mengintegrasikan community policing agar bisa dioptimasi oleh kepolisian.

Cara sederhana yang bisa dilakukan kepolisian untuk mengintegrasikan berbagai sistem keamanan berbasis komunal itu adalah dengan menggunakan teknologi. Kepolisian mestinya menginvestasikan anggarannya untuk membangun lebih banyak sistem komunikasi dengan berbagai sistem keamanan komunal tersebut. Kemudian, bagi beberapa kelompok komunal yang belum memiliki CCTV, kepolisian perlu menyebar perangkat ini ke berbagai wilayah lebih banyak lagi. CCTV yang ada di kelompok komunal juga harus diintegrasikan ke sistem nasional di kepolisian. Dengan demikian, setiap kejahatan bisa sejak dini dipantau. Jika terjadi kejahatan, kepolisian pun bisa terbantu untuk menelusurinya dari berbagai perangkat tersebut.

Di Selandia Baru, konsep ini sudah lama dijalankan. Karena itu, untuk tahun anggaran 2014/15 anggaran kepolisian tidak dinaikkan. Malah, anggaran yang diterima tahun 2014/15 hampir sama dengan anggaran kepolisian tahun 2009/2010. Argumentasinya adalah sistem keamanan kepolisian telah dilengkapi peralatan canggih seperti smartphone dan tablet yang itu diperhitungkan sebagai efisiensi 500 ribu jam kerja dan sejumlah tertentu aparat kepolisian (NZ Herald, 15 Mei 2014). Itu pun terjadi pada anggaran Serious Fraud Office (semacam Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia), berkurang sekitar 2 juta dollar dari tahun sebelumnya.

Memang, dengan pola yang saat ini ada di Selandia Baru, kepolisian tampak tidak berada di setiap tempat. Masyarakat jarang melihat adanya aparat kepolisian di wilayahnya. Namun, setiap ada kejahatan, kepolisian dapat bertindak cepat. Mereka pun banyak berhasil menelusuri pelaku tindak kejahatan. Padahal, mereka tidak membawa alat senjata ketika beroperasi.

Selain integrasi dengan sistem keamanan komunal, kepolisian Indonesia juga perlu mengintegrasikan sistemnya dengan sistem lain yang terkait penanganan kecelakaan, kekerasan, kejahatan atau kriminal. Sebagai contoh, setiap kejahatan dengan tindak kekerasan tentu ada korban. Tentunya korban ini kadang masih bisa diselamatkan. Golden time itu sangat penting dalam penyelamatan korban. Karena itu, sistem kepolisian harus terintegrasi dengan sistem penanganan kecelakaan, seperti ambulans, rumah sakit, bahkan pemadam kebakaran.

Untuk menghindari konflik dengan aparat militer, aparat kepolisian juga harus mau bekerja sama dan mengoptimalkan kemampuan militer. Sebagaimana di negara maju, jika sudah masuk kondisi darurat, seperti kerusuhan massal dan penjarahan, saatnya kepolisian melibatkan aparat militer, semacam Garda Nasional di Amerika Serikat.

Kolaborasi itu penting agar kepolisian dan lembaga layanan publik lainnya yang ada di Indonesia tidak terperangkap dengan keterbatasan anggaran. Setiap lembaga publik harus bisa bekerja di tengah keterbatasan anggaran. Itulah yang menjadi keunikan tersendiri dalam mengelola lembaga publik.

Intinya adalah kenaikan anggaran tetap perlu, tetapi kepolisian harus mempunyai langkah stratejik dalam menggunakan anggaran tersebut. Jika tidak, maka itu akan menjadi permasalahan klasik lembaga publik. 

Monday 24 November 2014

PhD Morning Tea

clip_image001

Just another morning tea with the other PhD students at AUT Business School. This is the final morning tea for this year. See you all next year.

Video Wisata ke Selandia Baru Tahun 1940

 

Baru-baru ini muncul video tentang wisatawan yang berkunjung ke Selandia Baru tahun 1940. Bisa dibayangkan, itu adalah 74 tahun lalu. Hebatnya, hasil video itu masih bisa dilihat dengan baik dan dapat diakses di Youtube.

Video perjalanan wisata dari Auckland ke arah selatan itu dibagi dua. Yang pertama dari Auckland ke Wairoa. Satu lagi, perjalanan wisata dari Wairoa ke Wellington.

Berikut ini video yang ke arah Wairoa.

Ini yang dari Wairoa ke Wellington.

Kalau melihat apa yang ditampilkan di video itu, suasana alam di Selandia Baru ternyata tidak berbeda dengan dulu 74 tahun lalu. Itulah hebatnya negara ini bisa menjaga keberlangsungan alamnya.

Hanya saja, yang menarik bukan tentang suasana alamnya. Yang menjadi berita di sini adalah siapa orang-orang yang ada di video itu. Siapa tahu ada yang Anda kenal. Kalau ada, silahkan email ke rickhelin@aol.com.

Tuesday 28 October 2014

Kabinet Kerja atau Kabinet Berintegritas?

Ketika mengumumkan anggota kabinetnya, Presiden Jokowi memberikan nama kabinetnya sebagai "kabinet kerja". Saya sempat bertanya, mengapa Jokowi tidak menggunakan kata "berkinerja"? Saya yakin orang-orang di sekitarnya paham perbedaan dua kata itu. Kalau hanya kerja, itu berarti hanya berproses, sedangkan berkinerja itu benar-benar menekankan pada hasil. Kesannya, Jokowi tidak terlalu mementingkan hasil. Karena itu, ia tidak menggunakan kata berkinerja.

Bisa jadi, itu pilihan yang diambil Jokowi melihat situasi politik saat ini. Paling tidak, pada pemerintahannya saat ini, ia merasa hanya bisa lebih banyak fokus kepada proses. Ia tidak terlalu menekankan target muluk-muluk, di mana kabinetnya bisa menghasilkan sesuatu yang besar. Baginya, bekerja saja dahulu sudah cukup baik. Menggunakan kata kabinet kerja dan memperhatikan tekanan politik yang akan semakin berat, dia menekankan kepada anggota kabinetnya agar tidak terlalu memusingkan komentar dari luar, terutama para anggota parlemen. Yang utama adalah seluruh anggota kabinetnya bekerja terus-menerus.

Dengan demikian, masyarakat juga sudah dijejali kesadaran dari awal bahwa ia tidak menjanjikan banyak hal. Namun, ia percaya bahwa dengan terus bekerja secara berkualitas, maka secara tidak langsung pemerintahannya akan menghasilkan sesuatu yang besar. Ini tentu pilihan diksi yang sangat tepat.

Kerja atau Integritas?

Namun, saya melihat apa yang ingin dicapai oleh Jokowi dengan pemilihan kata "kabinet kerja" tidaklah merepresentasikan proses yang telah dilaluinya dalam pemilihan anggota kabinet. Bagi saya, kabinet ini lebih tepat disebut "kabinet berintegritas". Kenapa demikian? Karena proses pemilihan anggota kabinet Jokowi lebih mementingkan integritas para calon. Lihatlah, di mana Jokowi meminta pendapat terkait histori dan potensi permasalahan anggota kabinetnya ke KPK dan PPATK.

Tentu saja, sebelum ia menyampaikan list calon ke KPK dan PPATK, pertama kali ia melihat kompetensi calon. Namun, yang paling menentukan pada akhirnya, baginya, adalah integritas calon. Soalnya, tanpa calon yang berintegritas, bisa jadi pemerintahannya akan terganggu. Ia akan direpotkan dengan bongkar pasang anggota kabinet dalam lima tahun ke depan.

Jokowi mementingkan integritas di atas kompetensi, dalam pandangan saya, karena ia tidak ingin mengulangi kesalahan pemerintahan sebelumnya. Pada pemerintahan sebelumnya, banyak orang-orang yang kompeten. Sayangnya, karena kompromi dengan partai politik, integritas menjadi dinomorduakan. Akhirnya, seperti kita lihat, pemerintahan yang lalu mestinya bisa menghasilkan hal-hal yang besar, tetapi terseok-seok dengan berbagai skandal.

Ketika mengambil pilihan integritas di atas kompetensi, tentu saja Jokowi akan mendapat protes dari banyak pihak. Lihat saja contoh di mana akademisi ITB mengeluhkan terpilihnya seorang menteri yang, katanya, tidak paham prinsip-prinsip kebijakan perikanan dan kelautan, dengan bahasa-bahasa akademik yang canggih yang digunakannya.

Kemudian, Jokowi lebih mengutamakan orang-orang yang berpengalaman di bidang administrasi dan keuangan daripada substansi teknis. Banyak kementerian yang kini dipimpin oleh mereka yang handal dalam pengelolaan administrasi dan keuangan. Lihat contoh Kementerian Perhubungan yang dipimpin oleh orang keuangan dan Kementerian ESDM yang dipimpin oleh akuntan. Jokowi lebih mementingkan aspek manajerial seorang calon daripada aspek substansinya.

Pilihan ini, lagi-lagi akan mengecewakan banyak pihak, terutama para "tukang insinyur" yang paham substansi di bidangnya. Pos-pos yang biasanya diisi oleh alumni ITB, sebagai contoh, malah diisi oleh orang-orang non-ITB. Alumni ITB malah ditugasi mengisi pos kementerian pariwisata.

Bagi saya, pilihan itu tidak terlepas dari latar belakang Jokowi. Dengan latar belakang kemampuan manajerial yang handal, tentu Jokowi juga akan memilih manajer-manajer yang handal di kabinetnya. Jokowi tidak terlalu mementingkan penguasaan anggota kabinetnya terhadap aspek substansi. Baginya, aspek substansi itu akan ditangani oleh staf di bawah anggota kabinet.

Pengendalian pada Lapis Bawah

Model kabinet yang dipilih oleh Jokowi benar-benar mencontek habis konsep manajemen perusahaan. Ia percaya bahwa jika pemerintahan dipimpin oleh para manajer yang handal, maka kabinetnya akan menghasilkan sesuatu yang membanggakan. Apakah benar demikian?

Asumsi Jokowi akan tepat jika ia bisa mengelola dengan baik sampai dengan para pejabat publik di lapisan bawah. Bahkan, sampai dengan level pelaksana. Pemerintahan saat ini, menurut saya, sudah mencapai suatu langkah besar dari segi konseptual dan simbolik. Tantangannya adalah tahap implementasi, yaitu bagaimana mengelola para direktur jenderal, direktur, dan bahkan pejabat di level bawahnya.

Dengan model kepemimpinan seperti Jokowi ini, maka para pejabat di level bawah akan lebih ditekankan untuk menyusun target yang terukur. Mereka mau tidak mau akan banyak berbicara hal-hal detail. Jika disinkronisasikan dengan tepat, mereka bisa diarahkan untuk mencapai suatu fokus bersama daripada fokus individual di masing-masing struktur.

Kita akan melihat nantinya tahap implementasi ini akan cukup berat bagi Jokowi. Sebagai contoh, lihatlah ketika Jokowi menyuruh anggota kabinet yang berasal dari professional untuk berlari-lari. Ia dapat melakukannya dengan baik, tetapi terkesan risih memerintahkan itu untuk anggota kabinet yang berasal dari birokrasi militer. Ketika anggota kabinet yang berlatar belakang dari militer hanya berjalan saja, dan juga anak dari presiden yang lalu, Jokowi agak sungkan menegurnya.

Kita nantikan gebrakan dari Jokowi berikutnya di tataran bawah ini.

Monday 20 October 2014

New Zealand Slang!

Do you want to know New Zealand's slang, bro?

Just read this, bro!

http://www.brenontheroad.com/travellers-guide-new-zealand-slang/

Bersepeda ke Kampus




Minggu lalu saya mengikuti training yang diorganisasikan oleh Auckland Transport. Saya mengambil kelas expert karena lebih dimaksudkan untuk improvement dan safety. Di training ini saya juga mendapat teori menggunakan gear yang benar.

Hal penting yang menjadi catatan saya adalah, Anda akan didenda $50 jika Anda bersepeda, tetapi:
- Tidak menggunakan helm;
- Salah satu rem bermasalah; atau
- Tidak menggunakan lampu ketika bersepeda di malam hari.


Kedua, ternyata ada teknik menggunakan helm sepeda yang benar. Saya pikir selama ini menggunakan helm tidak ada tekniknya. Asal dipakai saja.

Ketiga, untuk kondisi jalan di Auckland, ternyata kita cukup memainkan gear belakang pada posisi 1 atau 2 ketika menanjak, dan 6 atau 9 (tergantung jumlah gear) kalau menurun. Gear depan cukup diset di posisi 2 (tengah). Jika hanya perlu mengubah posisi gear depan ke posisi 3 atau 1 dalam kondisi ekstrim.

Aturan menggunakan aba-aba ketika berbelok ke kiri atau kanan dengan menggunakan tangan pada dasarnya sama dengan di Indonesia.

Ranking Departemen atau Universitas?

Sebelum saat ini kuliah di AUT, tempo hari sebenarnya saya juga mendapat acceptance letter dari sebuah universitas di New Zealand. Ranking universitas tersebut sebenarnya lebih bagus dari AUT. Hanya saja, ketika saya cek kembali untuk bidang saya, ternyata terjadi trend penurunan ranking pada universitas ini. Di sisi lain, rangking AUT pada bidang saya malah terus meningkat untuk subjek accounting and finance. Karena itu, ketika saya mendaftar ke aplikasi beasiswa NZAS, saya letakkan AUT di pilihan pertama.

Rupanya tahun 2014 ini accounting dan finance di AUT rankingnya meningkat lagi dan masuk ke kelompok 51 - 100 dunia terbaik di dunia, dibanding tahun sebelumnya yang masih di kelompok 100 - 150. Ranking ini saya lihat cukup menunjukkan kualitas suatu departemen/fakultas selama studi di AUT.

Saya suka menghadiri presentasi proposal riset dari departemen lain di AUT. Sepertinya, memang ranking ini cukup merepresentasikan kenyataan jika membanding kualitas antar departemen di AUT.

Apa hikmahnya dari ranking ini? Ini bisa kita lihat secara positif dan negatif. Ini bisa menjadi peluang besar ke mereka yang di Indonesia ketika ingin mendaftar beasiswa. Tentunya, beasiswa akan lebih banyak diberikan oleh departemen yang ranking departemennya masih rendah. Soalnya, mereka membutuhkan periset baru. Namun, mereka harus bisa bekerja secara mandiri.

Kalau dilihat secara negatif, maka mereka yang sangat membutuhkan pendampingan ketika riset agar tidak memilih departemen yang rankingnya masih rendah karena mereka harus benar-benar mandiri ketika riset.